PENDAHULUAN
A... Latar
Belakang
Tantangan
yang dihadapi oleh kepala sekolah semakin beragam dan cepat berubah. Tantangan
ini dapat lebih cepat direspon oleh sekolah kalau pengelola sekolah menerapkan
kebijakan dengan menganggap sekolah sebagai pusat perhatiannya (“school at the
center”). Konsep pengembangan manajemen berbasis sekolah (MBS) berkembang
sebagai respon dari sistem manajemen yang dikendalikan oleh otoritas eksternal
(MKE). Upaya pengembangan konsep dan teori manajemen berbasis sekolah sudah
dilakukan sejak beberapa tahun yang lalu, dan sejak tahun 1999 konsep MBS telah
di diujicobakan di beberapa sekolah di Indonesia. Beberapa sekolah berkemauan
untuk melaksanakan MBS, tetapi terbentur kepada belum terbentuknya pemahaman
bagaimana menerapkan konsep tersebut secara operasional.
Di
beberapa belahan dunia, MBS terlahir dengan beberapa nama yang berbeda, antara
lain “tata kelola berbasis sekolah” (school-based governance), “manajemen
mandiri sekolah” (school self-manegement), dan bahkan juga dikenal dengan
“school site management” atau “manajemen yang bermarkas di sekolah”.
Istilah-istilah tersebut memang mempunyai pengertian dengan penekanan yang
sedikit berbeda. Namun, nama-nama tersebut memiliki roh yang sama, yakni
sekolah diharapkan dapat menjadi lebih otonom (bukan hanya sekedar unit
pelaksana teknis) dalam pelaksanaan manajemen sekolahnya, khususnya dalam
penggunaan 3M-nya, yakni man, money, dan material.
Sekolah
mengemban fungsi berposisi di garis paling depan dalam melayani pendidikan
masyarakat, sehingga sekolah harus dapat merespon dengan cepat perubahan yang
ada, namun juga tetap mengikuti standar-standar yang sudah ditentukan oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sekolah sebagai unit organisasi yang
mempunyai otonomi, mempunyai hak untuk mengatur dirinya sendiri.
Pengoperasionalan MBS memerlukan langkah-langkah perumusan lingkup kegiatan
pengelolaan yang sudah digariskan dalam peraturan kementerian dalam bentuk
standar-standar pengelolaan yang harus diikuti oleh sekolah (kegiatan yang
diikat oleh aturan), dan kegiatan-kegiatan yang sepenuhnya diatur oleh sekolah
(otonomi sepenuhnya).
Penerapan MBS secara yuridis
diamanatkan oleh beberapa aturan perundangan antara lain
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 51, Ayat (1); “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah”
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 49, Ayat (1); “Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas”
- Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan, yang akan diuraikan lebih mendetail lagi pada BAB II dan III
- Peraturan Pemerintah No 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendididikan, Pasal 50 dan 51. Pasal 50 “Satuan atau program pendidikan wajib bertanggung jawab mengelola sistem pendidikan nasional di satuan atau program pendidikannya serta merumuskan dan menetapkan kebijakan pendidikan sesuai dengan kewenangannya”. Pasal 51 (1) “Kebijakan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 merupakan penjabaran dari kebijakan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 17, Pasal 28, dan/atau Pasal 39, serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Bukti-bukti
empirik lemahnya pola lama manajemen pendidikan nasionaldan digulirkannya
otonomi daerah telah mendorong dilakukannyapenyesuaian diri dari pola lama
manajemen pendidikan menuju pola barumanajemen pendidikan masa depan yang lebih
bernuansa otonomi danyang lebih demokratis. Berikut disajikan dimensi-dimensi
perubahan polamanajemen, dari yang lama menuju ke yang baru.Dimensi-dimensi
perubahan pola manajemen pendidikan.
POLA
LAMA
|
POLA
BARU
|
Subordinasi
|
Otonomi
|
Pengambilan keputusan terpusat
|
Pengambilan keputusan partisipatif
|
Ruang gerak kaku
|
Ruang gerak luwes
|
Pendekatan birokratik
|
Pendekatan professional
|
Sentralistik
|
Desentralistik
|
Diatur
|
Motivasi diri
|
Overregulasi
|
Deregulasi
|
Mengontrol
|
mempengaruhi
|
Mengarahkan
|
Memfasilitasi
|
Menghindari resiko
|
Mengelola resiko
|
Gunakan uang semuanya
|
Gunakan uang seefisien mungkin
|
Individual yang cerdas
|
Teamwork yang cerdas
|
Informasi terpribadi
|
Informasi terbagi
|
Pendelegasian
Organisasi herarkis
|
Pemberdayaan
Organisasi datar
|
Pada
pola lama, tugas dan fungsi sekolah lebih pada melaksanakan program dari pada
mengambil inisiatif merumuskan dan melaksanakan program peningkatan mutu yang
dibuat sendiri oleh sekolah. Pada Pola baru, sekolah memiliki wewenang lebih
besar dalam pengelolaan lembaganya, pengambilan keputusan dilakukan secara
partisipatif dan partsisipasi masyarakat makin besar, sekolah lebih luwes dalam
mengelola lembaganya, pendekatan profesionalisme lebih diutamakan dari pada
pendekatan birokrasi, pengelolaan sekolah lebih desentralistik, perubahan
sekolah lebih didorong oleh motivasi-diri sekolah dari pada diatur dari luar
sekolah, regulasi pendidikan lebih sederhana, peranan pusat bergeser dari
mengontrol menjadi mempengaruhi dan dari mengarahkan ke memfasilitasi, dari
menghindari resiko menjadi mengolah resiko, penggunaan uang lebih efisien
karena sisa anggaran tahun ini dapat digunakan untuk anggaran tahun depan
(efficiency-based budgeting), lebih mengutamakan teamwork, informasi terbagi ke
semua warga sekolah, lebih mengutamakan pemberdayaan, dan struktur organisasi
lebih datar sehingga lebih efisien.
1... Pengertian MBS
Secara
umum, manajemen berbasis sekolah (MBS) dapat diartikan sebagai model
pengelolaan yang memberikan otonomi (kewenangan dan tanggungjawab) lebih besar
terhadap sekolah, memberikan fleksibilitas/keluwesan-keluwesan terhadap
sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa,
kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orangtua siswa, tokoh masyarakat,
ilmuwan, pengusaha, dan sebagainya). Hal-hal tersebut dilakukan untuk
meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan otonomi tersebut, sekolah
diberikan kewenangan dan tanggungjawab untuk mengambil keputusan-keputusan
sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan tuntutan sekolah serta masyarakat atau
stakeholder yang ada. (Catatan: MBS tidak dibenarkan menyimpang dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku).
2. Tujuan MBS
MBS
bertujuan untuk meningkatkan kinerja sekolah melalui pemberian kewenangan dan
tanggungjawab yang lebih besar kepada sekolah yang dilaksanakan berdasarkan
prinsip-prinsip tata kelola sekolah yang baik yaitu partisipasi, transparansi,
dan akuntabilitas. Peningkatan kinerja sekolah yang dimaksud meliputi
peningkatan kualitas, efektivitas, efisiensi, produktivitas, dan inovasi
pendidikan.
Dengan MBS, sekolah diharapkan
makin berdaya dalam mengurus dan mengatur sekolahnya dengan tetap berpegang
pada koridor-koridor kebijakan pendidikan nasional. Perlu digarisbawahi bahwa
pencapaian tujuan MBS harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola
yang baik (partisipasi, transparansi, akuntabilitas, dan sebagainya)
3. ..Karakteristik MBS
Leithwood
K., & Menzies T. (1998) (Forms and effects of school-based management: a
review. Educational policy, vol. 12, no. 3, pp.325-347. 13) mengidentifikasi
karakteristik MBS mencakup 4 aspek, yaitu:
1. Kontrol administratif: dibawah
kewenangan kepala sekolah.
2. Kontrol professional: dibawah
kewenangan korps guru
3. Kontrol masyarakat: dibawah
kewenangan wali siswa melalui dewan sekolah
4. Kontrol keseimbangan: kontrol
professional dan kontrol masyarakat diperagakan secara seimbang.
Di
Indonesia karakteristik MBS akan diuraikan dalam prinsip, konteks, target, dan
praktek-praktek MBS.
a. Prinsip
Penerapan MBS ini didasari oleh
empat prinsip yang dikemukakan oleh Yin Cheong Cheng (1996) School
effectiveness and school-based management: a mechanism for development¡¨;
yaitu, ekuifinalitas, desentralisasi, sekolah sebagai unit swakelola, dan
inisiatif, yang mana prinsip-prinsip diatas tidak pernah diakomodasi pada MKE.
- Prinsip equifinalitas menyatakan bahwa ada banyak cara yang berbeda untuk mencapai satu tujuan. Satu organisasi mempunyai potensi dan kendala yang berbeda dibandingkan organisasi lain. Sangat tidak masuk akal kalau organisasi-organisasi yang berbeda karakternya dipaksa untuk mencapai satu tujuan dengan cara yang sama.
- Prinsip desentralisasi didasarkan kepada pelibatan kegiatan tidak hanya di pusat saja, tetapi disebar ke daerah-daerah untuk terlibat dalam pembuatan keputusan. Tugas pusat untuk membuat keputusan akan semakin sulit karena keragaman kondisi di daerah masing-masing. Pelibatan daerah untuk ikut memutuskan sendiri apa yang harus dilakukan, menjadi keharusan agar organisasi dapat melakukan tindakaterbaik sesuai dengan kondisinya. Demikian juga dengan kewenangan di sekolah, pelibatan staf sekolah perlu dilakukan.
- Prinsip sekolah sebagai unit swakelola didasarkan bahwa kegiatan sekolah sehari-hari harus tetap berjalan. Semua masalah yang ada harus cepat ditangani tanpa menunggu instruksi dari otoritas eksternal. Kegiatan sekolah tidak dapat berjalan lancar kalau semua kegiatan harus menunggu instruksi dari otoritas eksternal.
- Prinsip inisiatif menegaskan bahwa sekolah sebagai organisasi mandiri tidak perlu menunggu keputusan otoritas eksternal dalam melakukan kegiatannya. Ada empat tingkat inisiatif dari yang paling rendah yaitu hanya menunggu, menuju ke tingkat lebih tinggi yaitu meminta petunjuk, meningkat ke lebih tinggi lagi yaitu meminta ijin, menuju ke inisiatif yang paling tinggi yaitu melakukan dulu baru melaporkan.
b. Konteks
Konteks
penerapan MBS adalah dalam rangka membentuk sekolah yang memiliki kemandirian,
kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas sebagaimana pesan PP 17,
2007 pasal 49; ¡§Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar
dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan
kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas¡¨.
- Kemandirian. Kemandirian dapat diartikan sebagai kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, kemandirian dari sisi program dan pendanaan merupakan tolok ukur utama kemandirian sekolah. Jadi kemandirian sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku.
- Kemitraan. Setiap warga sekolah mempunyai fungsi dan peran yang spesifik. Hubungan antar warga sekolah didasarkan atas kemitraan atau partnership yaitu bentuk hubungan setara dalam berbagi tanggung jawab sesuai dengan fungsi dan perannya.
- Partisipasi. Sekolah dapat mewujudkan visinya kalau semua warga terlibat sesuai dengan fungsi dan perannya. Pelibatan warga sekolah dalam penyelenggaraan sekolah harus mempertimbangkan keahlian, batas kewenangan, dan relevansinya dengan tujuan partisipasi. Peningkatan partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah akan mampu menciptakan keterbukaan, kerjasama yang kuat, akuntabilitas, dan demokrasi pendidikan. Keterbukaan yang dimaksud adalah keterbukaan dalam program dan keuangan.
- Keterbukaan. Keterbukaan memberi kesempatan kepada warga sekolah untuk mengetahui hal-hal yang sedang terjadi dan memahami kondisi nyata sekolah. Pemahaman ini menjadi awal tumbuhnya kepedulian warga sekolah.
- Akuntabilitas. MBS harus dipahami sebagai model pemberian kewenangan yang lebih besar kepada sekolah. Sebagai konsekuensinya, sekolah harus bertanggung jawab terhadap apa yang dikerjakan. Untuk itu sekolah berkewajiban mempertanggungjawabkan kepada publik tentang apa yang dikerjakan sebagai konsekuensi dari mandat yang diberikan oleh publik. Itu berarti akuntabilitas publik menyangkut hak publik untuk memperoleh pertanggungjawaban penyelenggara sekolah.
c. Target
Target
manajemen berbasis sekolah dirumuskan dalam permendiknas nomer 19 tahun 2007
tentang pengelolaan pendidikan, mencakup 6 target seperti berikut: (a)
perencanaan program; (b) pelaksanaan rencana kerja; (c) pengawasan dan
evaluasi; (d) kepemimpinan sekolah/madrasah; (e) sistem informasi manajemen;
dan (f) penilaian khusus. Masing-masing target diuraikan lebih lanjut menjadi
butir-butir target, misalnya komponen perencanaan program dibagi menjadi 4
butir yaitu visi, misi, tujuan dan rencana kerja sekolah. Secara ringkas target
MBS digambarkan dalam Gambar 1 peta konsep berikut.
C.
PELAKSANAAN MANAGEMEN BERBASIS SEKOLAH..
..Pelaksanaan
MBS lebih menekankan kepada merumuskan bagaimana praktek-praktek MBS
dilaksanakan dalam kegiatan sehari-hari di sekolah.Kegiatan-kegiatan yang sudah
lama diotonomkan di sekolah diungkapkanoleh Alison Bullock dan Hywel Thomas
dalam school at the center¡¨ 1997halaman 7-8, mencakup lingkup kegiatan (1)
penerimaan siswa , (2)penilaian (assessment) siswa, (3) informasi seleksi ,
berupa dokumen,yang dipublikasikan ke luar sekolah (4) pendanaan mencakup
keputusanpenggalian dan penggunaan dana. Dengan diterapkannya MBS, Caldwelland
Spinks (dalam Alison Bullock dan Hywel Thomas dalam ¡§school at thecenter¡¨
1997 halaman 7) melaporkan otonomi yang lebih luas dalam
kegiatan pengelolaan sekolah, yang
mencakup desentralisasi :
- isi pendidikan/knowledge (desentralisasi pembuatan keputusan menyangkut kurikulum termasuk perumusan tujuan akhir lulusan);
- teknologi (desentralisasi pembuatan keputusan berkaitan dengan sarana teknologi pengajaran dan pembelajaran);
- kewenangan/power (desentralisasi dalam membuat kebijakan sekolah);
- bahan/material (desentralisasi pembuatan keputusan menyangkut penggunaan fasilitas, bahan dan perkakas);
- pemberdayaan sumberdaya manusia/people (desentralisasi keputusan berkaitan dengan alokasi sdm untuk pengajaran);
- waktu/time (desentralisasi pembuatan keputusan menyangkut alokasi waktu dalam kegiatan delajar mengajar), dan
- keuangan/finance (desentralisasi pembuatan keputusan menyangkut alokasi dana).
Penerapan
MBS di Indonesia belum mengotonomikan kegiatan-kegiatan pengelolaan sepenuhnya
seperti yang dirumuskan oleh Caldwell dan Spinks. Pelaksanaan MBS di Indonesia
mengacu kepada Permen 19 th 2007 sebagaimana akan diuraikan pada bagian B
Materi Pokok MBS. pelaksanaan MBS ditujukan untuk mengidentifikasi
kewenangan-kewenangan apa saja yang diberikan sekolah dan kepada siapa kewenangan
tingkat sekolah diberikan Hasil identifikasi ini menjadi acuan dalam
melaksanakan MBS.
Praktek-praktek MBS
Sesuai
dengan prinsip equifinalitas dan swakelola, praktek-praktek MBS perlu
dijabarkan supaya lebih operasional oleh masing-masing sekolah, menjadi bentuk
prosedur baku atau praktek terbaik untuk masing-masing sekolah. Prinsip-prinsip
MBS mengamanatkan bahwa pelaksanaan MBS menerapkan pendekatan idiograpik¡¨
dalam arti membolehkan adanya keragaman dalam cara melaksanakan MBS dan bukan
lagi menggunakan pendekatan
nomotetik¨ yaitu cara melaksanakan MBS yang cenderung seragam/konformitas untuk
semua sekolah. Oleh karena itu, tidak ada satu resep pelaksanaan MBS terbaik
yang cocok untuk diberlakukan ke semua sekolah, atau praktek terbaik di satu
sekolah belum tentu menjadi praktek terbaik bagi sekolah lain.
Sebagai
model-model manajemen, maka MBS merupakan model deskriptif, yakni model yang
menjelaskan tentang apa itu MBS, bagaimana pelaksanaannya, bukan merupakan
model preskriptif yaitu model yang sudah memberikan petunjuk langkah-langkah
secara detil. Untuk melaksanakan MBS sekolah merumuskan sendiri resepnya
melalui pengalaman, pengkajian hasil riset orang lain, atau hasil penelitian
tindakan sekolah, sekolah dapat merumuskan prosedur pengelolaan terbaik untuk
semua praktek pengelolaan yang diamanatkan oleh permen 19 tahun 2007.
Praktek-praktek
manajemen berbasis sekolah dirumuskan dalam permendiknas 19 tahun 2007 tentang
pengelolaan pendidikan. Praktek-praktek ini merupakan jabaran dari butir-butir
target. Praktek-praktek pengelolaan selengkapnya disajikan dalam Tabel 1
berikut ini
Tabel 1.
Praktek-praktek pengelolaan sekolah menurut Peraturan Menteri no 19 tahun 2007
tentang pengelolaan sekolah
Target
|
Butir Target
|
Praktek Pengelolaan
|
|||
Perencanaan
|
visi
|
Merumuskan dan menetapkan visi
sekolah dan mengembangkannya
|
|||
misi
|
Merumuskan dan menetapkan misi
sekolah dan mengembangkannya
|
||||
Tujuan
|
Merumuskan dan menetapkan
tujuan sekolah dan mengembangkannya
|
||||
Rencana kerja
|
Menyusun rencana kerja jangka
menengah
|
||||
Menyusun
rencana kerja tahunan
|
|||||
Pelaksanaan
|
Pedoman sekolah
|
Membuat
dan memiliki pedoman yang mengatur berbagai aspek pengelolaan
|
|||
Struktur organisasi
|
Menyusun struktur organisasi
|
||||
Pengelolaan bidang kesiswaan
|
Menyusun dan menetapkan
petunjuk pelaksanaan operasional mengenai proses penerimaan peserta didik
|
||||
Pengelolaan bidang kurikulum
dan kegiatan pembelajaran
|
|
||||
Pengawasan
dan evaluasi
|
Pengelolaan bidang Pendidik dan
Tenaga Kependidikan
|
Menyusun program pendayagunaan
pendidik dan tenaga kependidikan
|
|||
Mengangkat pendidik dan tenaga
kependidikan tambahan
|
|||||
Mendukung upaya promosi,
pengembangan, penempatan, dan mutasi
|
|||||
Pengelolaan Bidang Sarana dan
Prasarana
|
Menetapkan kebijakan program
secara tertulis mengenai pengelolaan sarana dan prasarana
|
||||
Pengelolaan bidang Keuangan dan
Pembiayaan
|
Menyusun pedoman pengelolaan
biaya investasi dan operasional
|
||||
Pengelolaan bidang budaya dan
Lingkungan Sekolah/Madrasah
|
Menciptakan suasana, iklim, dan
lingkungan pendidikan yang kondusif untuk pembelajaran yang efisien dalam
prosedur pelaksanaan.
|
||||
Peranserta Masyarakat dan
Kemitraan Sekolah
|
Melibatkan warga dan masyarakat
pendukung sekolah/madrasah dalam mengelola pendidikan.
|
||||
Program pengawasan
|
Menyusun program pengawasan
secara obyektif, bertanggung jawab dan berkelanjutan
|
||||
Evaluasi diri
|
Melakukan evaluasi diri
terhadap kinerja sekolah/madrasah
|
||||
Evaluasi dan pe ngembangan KTSP
|
Melakukan evaluasi dan
pengembangan KTSP
|
||||
Evaluasi pendayagunaan PTK
|
Melakukan evaluasi
pendayagunaan pendidik dan tenaga kependidikan direncanakan secara
komprehensif pada setiap akhir semester
|
||||
Akreditasi
|
Menyiapkan bahan-bahan yang
diperlukan untuk mengikuti akreditasi
|
||||
kepemimpinan
|
kepemimpinan
|
Menganalisis tantangan,
peluang,
|
|||
kekuatan,
dan kelemahan sekolah
|
|||||
Bertanggung jawab dalam membuat
keputusan anggaran sekolah/madrasah
|
|||||
Melibatkan
guru, komite sekolah dalam pengambilan keputusan
|
|||||
Berkomunikasi
untuk menciptakan dukungan intensif dari orang tua peserta didik dan
masyarakat
|
|||||
Menjaga dan meningkatkan
motivasi kerja pendidik dan tenaga kependidikan
|
|||||
Menciptakan
lingkungan pembelajaran yang efektif bagi peserta didik
|
|||||
Bertanggung
jawab atas perencanaan partisipatif mengenai pelaksanaan kurikulum
Melaksanakan
dan merumuskan
|
Sebagai model manajemen, MBS
merupakan model deskriptif (model yang menjelaskan apa MBS, pelaksanaannya
fleksibel), bukan merupakan model preskriptif (dari kata “prescription” artinya
resep dokter, model yang sudah memberikan petunjuk langkah-langkah detil,
pelaksanaannya sudah baku). Untuk melaksanakan MBS sekolah perlu merumuskan (1)
tahapan-tahapan atau langkah-langkah kegiatan dari semua praktek misalnya dalam
bentuk bagan alir (2) mengidentifikasi aturan hukum masing-masing kegiatan, (3)
mengidentifikasi siapa yang bertanggung-jawab dalam masing-masing kegiatan, dan
(4) siapa saja yang terlibat dalam masing-masing kegiatan tersebut.
C... MONITORING DAN EVALUASI
Monitoring
adalah suatu proses pemantauan untuk mendapatkan informasi tentang pelaksanaan
MBS. Jadi, fokus monitoring adalah pemantauan pada pelaksanaan MBS, bukan pada
hasilnya. Tepatnya, fokus monitoring adalah pada komponen proses MBS, baik
menyangkut proses pengambilan keputusan, pengelolaan kelembagaan, pengelolaan
program, maupun pengelolaan proses belajar mengajar. Sedang evaluasi merupakan
suatu proses untuk mendapatkan informasi tentang hasil MBS. Jadi, fokus
evaluasi adalah pada hasil MBS. Informasi hasil ini kemudian dibandingkan
dengan sasaran yang telah ditetapkan. Jika hasil sesuai dengan sasaran yang
telah ditetapkan, berarti MBS efektif. Sebaliknya jika hasil tidak sesuai
dengan sasaran yang telah ditetapkan, maka MBS dianggap tidak efektif (gagal).
Oleh karena itu, sebaiknya setiap sekolah yang melaksanakan MBS diharapkan
memiliki data-data tentang prestasi siswa sebelum dan sesudah MBS. Hal ini
penting untuk dilakukan agar
sekolah
dengan mudah membandingkan prestasi siswa sebelum dan sesudah MBS. Jika setelah
MBS ada peningkatan prestasi yang signifikan dibanding sebelum MBS, maka hal
ini dapat diduga bahwa MBS cukup berhasil.
Monitoring dan evaluasi MBS
bertujuan untuk mendapatkan informasi yang dapat digunakan untuk pengambilan
keputusan. Hasil monitoring dapat digunakan untuk memberi masukan (umpan balik)
bagi perbaikan pelaksanaan MBS. Sedang hasil evaluasi dapat memberikan
informasi yang dapat digunakan untuk memberi masukan terhadap keseluruhan
komponen MBS, baik pada konteks, input, proses, output, maupun outcome nya.
Masukan-masukan dari hasil monitoring dan evaluasi akan digunakan untuk
pengambilan keputusan.
Bagian C permendiknas 19 tahun
2007 mengamanatkan bahwa sekolah perlu melakukan pengawasan dan evaluasi
mencakup Program pengawasan, Evaluasi diri, Evaluasi dan pengembangan KTSP,
Evaluasi pendayagunaan PTK, dan Akreditasi. Praktek-praktek pengawasan dan
evaluasi MBS juga perlu dirumuskan dalam bentuk prosedur baku praktek terbaik
pengawasan dan evaluasi.
Semua kegiatan MBS perlu
dilakukan monitoring dan evaluasi untuk melihat keterlaksanaan dan keberhasilan
setiap kegiatan tersebut. Karena itu diperlukan pengembangan
perangkat-perangkat untuk melakukan monitoring dan evaluasi tersebut. Di bagian
kegiatan pembelajaran 2 sudah dibahas penyusunan bagan alir kegiatan
pengelolaan sekolah.
Perangkat
monitoring dan evaluasi dapat dikembangkan dari prosedur baku yang sudah
disusun. Prosedur baku antara lain berisi langkah-langkah yang diberi simbol
segi empat dan keputusan yang diberi simbol belah ketupat. Monitoring dilakukan
untuk melihat apakah langkah-langkah tersebut dilakukan sesuai dengan yang
tertulis di prosedur baku atau tidak, sedangkan evaluasi dilakukan untuk
membuat keputusan (decision) ya atau tidak pada simbol belah ketupat.
Monitoring dan evaluasi (monev) merupakan bagian integral dari
pengelolaan pendidikan, baik di tingkat mikro, meso maupun makro. Monev dapat
mengukur tingkat kemajuan pendidikan pada tingkat sekolah, dinas pendidikan
kabupaten/kota, dinas pendidikan propinsi, dan kementerian. Dengan monev, kita
dapat menilai apakah MBS benar-benar mampu meningkatkan mutu pendidikan. Monev
MBS bertujuan untuk mendapatkan informasi yang dapat digunakan untuk
memperbaiki/mengembangkan MBS.
No comments:
Post a Comment