BAB
I
PENDAHULUAN.
A... LATAR BELAKANG
Dalam meriwayatkan
dan menerima hadis dari seorang periwayat kepada periwayat yang lain, di
temukan berbagai cara yang ditempuh para periwayat tersebut. Cara-cara itu
dapat diklafikasikan kepada beberapa klafikasi sesuai dengan realitas objektif
periwayat dalam menerima dan menyampaikan hadis dari dan kepada periwayat yang
lain. Selain itu, ulama juga membicarakan tentang syarat diterimanya suatu
periwayatan yang dihubungkan dengan usia orang yang menerima atau menyampaikan
periwayatan tersebut. Hal ini perlu diketahui karena berhubungan dengan
permasalahan legitimasi terhadap tranformasi periwayatan dan penerimaan hadis.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apa
saja syarat-syarat periwayatan hadits?
2.
Bagaimana
cara-cara menyampaikan riwayat ?
3. Bagaimana
cara menerima hadits?
C.. TUJUAN
Untuk
menjadikan pendorong kelompok kami, betapa pentingnya “STUDI HADITS” untuk kita
pelajari sehingga kita dapat menjadi berkepribadian yang baik namun bukan
berarti kita harus menjadi orang yang sempurna, karena tidak menutup
kemungkinan seorang ulama atau penguasa yang baik tentu banyak memiliki
kekurangan. Dan juga bertujuan untuk
kita lebih mengetahui perbedaan antara hadis sahih atau tidak nya, kuat atau
lemah nya hadis tersebut dengan melihat siapa periwayat atau perawi hadis
tersebut, jadi kita bisa membedakan antara hadits palsu dan hadits sahih serta
mengetahui proses transformasi periwayatan hadits.
BAB
II
PEMBAHASAN
SYARAT SEORANG PERAWI DAN PROSES TRANSPORMASI
PERIWAYATAN HADIS..
A.SYARAT- SYARAT PERIWAYATAN
Rawi berasal dari bahasa Arab riwayah yang
berarti memindahkan atau meriwayatkan. Secara istilah rawi adalah orang yang
menerima hadits, meriwayatkan hadits,menyampaikan dan menyebutkan rangkaian
perawinya kepada orang lain.Salah satu cabang dari penelitian hadits
adalah penelitian terhadap rawi hadits.Ulama berbeda pendapat tentang sah atau tidak anak-anak yang belum balig
menerima persyaratan. Sejalan dengan hal itu mereka juga berselisih pendapat
tentang periwayat yang masih dalam kekafiran atau dalam keadaan fasiq ketika ia
menerima Hadis dari nabi saw. Jumhur ahli hadis berpendapat bahwa seorang yang
menerima hadis ketika masih anak-anak
atau masih dalam keadaan kafir atau dalam keadaan fasiq dapat d terima
periwayatannya bila ia menyampaikannya dalam kondisi yang dapat di terima.
Yaitu, anak-anak yang sudah dewasa, orang kafir telah masuk islam dan orang
yang fasiq telah bertaubat.
Alasan jumhur tentang anak-anak yang belum dewasa dapat di benarkan
menerima riwayat ialah jima’.Sebab, tidak ditemukan seorang ulama yang membantah dan membeda-bedakan riwayat-riwayat
para sahabat yang diterima sebelum dan sesudah dewasa. Banyak sahabat yang
menerima hadis sewatu beliau belum dewasa, seperti Hasan, Husein, Ibn’Abbas,
dan Nu’man bin Basyir.Namun demikian, mereka berbeda pendapat di seputar batas
minimal umur anak-anak yang diterima periwayatannya itu.Menurut Jumhur, batas umur minimalnya ialah 5 tahun.Sebab,
dari umur inilah anak-anak mulai menginjak masa mumayyiz.Selain itu, di temukan
juga ulama yang tidak membatasi umur tersebut. Namun, mensyaratkan
tercapainya ketamyizan, yaitu biasanya talah lewat umur 5 tahun. Tetapi,
IbnWa’in menetapkan batas usia anak tersebut harus telah mencapai umur 15
tahun. Beliau mengajukan alasan Hadis Ibn’Umar sebagai berikut:
عر ضت على ا لنبى صلى اللة علىة و سلم ىو م احد و ان ابن ا ربع عشرة سنة قلم ىحز نى و عر ضت علىة ىو م ا
خلندق وانا خمس عشرة فاجازنى.
Artinya: (
Aku di hadapkan kepada rasulullah saw. Pada waktu perang uhud, di saat itu aku baru berumur 14 tahun, beliau
tidak memperkenankan aku. Kemudian aku di hdapkan kepada nabi saw. Pada waktu
perang Khandak, disaat itu saya berumur 15 tahun, beliau memperkenankan aku.)1
1Prof. Dr. H. Ramli Abdul Wahid,MA, Studi
Ilmu Hadis,
(Bandung: Ciptapustaka Media Perintis, 2002) hal. 134
3
Berkenaan
dengan riwayat orang fasiq sebelum meriwayatkan hadis didasarkan kepada
qiyas aulawi sebagaimana yang di lakukan
Ibnu Hajar. Artinya, kalau penerimaan riwayat orang kafir yang kemudian
disampaikannya setelah memeluk agama islam dapat di terima, apalagi
penerimaan orang fasiq yang di sampaikan
setelah taubat dan di akui sebagai orang yang adil, tentu lebih dapat di
terima.
Berkenaan dengan riwayat orang gila
setelah sehat,tetap tidak dapat diterima.Sebab ketika ia gila kesadarannya
telah hilang,sehingga tidak dapat dikatakan sebagai orang yang dhabith.
Dalam suatu hadist,faktor yang mempengaruhi
diterima atau tidaknya suatu hadits tergantung pada kualitas rawi. Rawi
bukanlah orang yang asal-asalan menerima hadits tanpa disertai dengan
sifat-sifat yang mendukung dirinya untuk menjadi seorang periwayat hadits.
Suatu hadits atau berita dianggap keasliannya apabila pembawa berita tersebut
memili persyaratan kejuuran dan kemampuan untuk mempertanggung jawabkan berita
tersebut.
Berikut ini adalah syarat-syarat kualitas perawi dalam periwayatan hadits :
1. Baligh yaitu perawi harus cukup umur ketika
meriwayatkan suatu hadits meskipun ia masih dalam usia muda dalam menerima
hadits.
2. Muslim yaitu seorang perawi harus beragama Islam
ketika menerima maupun menyampaikan hadits.
3. ‘Adalah yaitu perawi adalah seorang muslim yang
baligh, berakal dan tidak melakukan dosa kecil maupun besar.
4. Dhabith yaitu bisa menangkap apa yang didengarnya
dan data menghapalnya dengan baik serta dapat menyampaikan apabila dibutuhkan.Orang
yang tsiqah (terpercaya) dalam agamanya adalah orang yang bias diterima hadis
dan riwayatnya,mereka itulah orang yang adil dan dhabith.2
5. Tidak shaydz artinya hadits yang diriwayatkan
tidak berlawanan dengan al Quran.
6. Perawi harus berasal dari orang-orang yang
syiqoh.
7. Perawi harus memperhatikan ibadahnya dan hal-hal
yang dia lakukan.
Dari beberapa syarat tersebut yang lebih
ditekankan adalah keadilan dan kedhabitan. Selain syarat-syarat menjadi perawi,
kualitas perawi juga sangat penting karena inilah yang menentukan hadits itu bisa
diterima atau tidak.3
B. .TAHAMMUL WA AL-AD
Tahammul
wal – ad adalah “mengambil atau menerima“ hadits dari salah seorang guru dengan
salah satu cara tertentu dan proses mengajarkannya (meriwayatkan) hadits dari
seorang guru kepada muridnya.Ulama
mengklasifikasikan cara-cara menerima riwayat ke dalam delapan cara,yaitu:
1.
Sama’,
yakni periwayat mendengar langsung dari perkataan gurunya dengan cara
didiktekan atau lainnya; baik dari hafalannya maupun dari tulisannya,Menurut
Jurnhur ini merupakan cara yang paling tinggi nilainya.Sebab di masa rasul,
cara inilah yang dilakukan para sahabat dari nabisaw. Dengan cara ini,
terpeliharalah kekeliruan dan kelupaan. Perlu di tambahkan, mendengar perkataan
guru dari belakang hijab, tetap di anggap sah menurut Jumhur, selagi
berkeyakinan bahwa suara yang di dengar itu benar-benar suara gurunya yang di
maksud.Sebab, para sahabat mendengarkan hadis-hadis dari ‘Aisyah dan
isteri-isteri Rasulullah saw. Dari belakang tabir.
Lafal-lafal yang dipergunakan oleh periwayat atas dasar
sama’,ialah:
a.
Akhbarani
; akhbaranu
b.
Haddatstsani
; haddatstsana
c.
Sami’tu
; sami’na
2.
Al-Qiraah
‘ala asy-Syikh, yakni, si pembicara menyungguhkan suatu hadis ke hadapan
gurunya, baik ia sendiri yang membaca hadis tersebut maupun orang lain dan dia
mendengarkannya. Cara ini menurut ulama adalah sah dan periwayatan qira’ah
tersebut dapat di amalkan.
Lafal-lafal yang digunakan untuk menyampaikan hadis-hadis qira’ah
tersebut sebagai berikut:
a.
Qara’tu
‘alaih
b.
Quri’a
‘ala fulan wa ana asma’
c.
Haddatsana
aw akhbarana qira’ah ‘alaih
3.
Ijazah,
yaitu pemberian izin dari seseorang kepada orang lain untuk meriwayatkan hadis
dariny, atau kitab-kitabnya.Kedudukan periwayatan dengan ijazah tersebut
diperselisihkan ulama.Ada yang tidak memperbolehkannya.Sebab,jika diizinkan
periwayatan dengan Ijazah,tentu tuntutan untuk pergi mencari hadis gugur dengan
sendirinya. Namun, menurut Jumhur, periwayatan dengan ijazah tersebut
diperkenankan dan dapat diamalkan. Bahkan, hal ini di duga telah mendapat
persepakatan ummat.
Ijazah mempunyi 3 bentuk, yaitu:
a.
Ijazah
fi mu’ayyanin li mu’ayyanin (izin untuk meriwayatkan sesuatu yang tertentu
kepada orang yang tertentu)
b.
Ijazah
fighair ma’ayyanin li mu’ayyanin (izin untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak
tertentu kepada orang yang tidak tertentu)
c.
Ijazah
ghair mu’ayyan bi ghairi mu’ayyan (izin untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak
tertentu kepada orang yang tidak tertentu)
4.
Munawalah,
yaitu seorang guru memberikan sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan
yang sudah di koreksinya untuk di riwayatkan.
Munawalah dapat diklafikasikan kepada dua macam, yaitu:
a.
Dibarengi
ijazah, misalnya setelah guru menyerahkan kitab asli atau salinannya, lalu
naskah itu di bacakan oleh muridnya di hadapan gurunya, lalu ia mengatakan, “
Itu adalah periwayatanku, maka riwayatkanlah.”Periwayatan ini diperkenankan dan
bahkan ada yang berpendapat kebolehannya itu secara ijma’. Karena itu, tidak
diragukan lagi adanya kewajiban untuk mengamalkan nya.
b.
Tanpa
di barengi ijazah ketika sebuah naskah ash atau salinannya diberikan kepada
muridnya dan mengatakan bahwa itu adalah riwayat yang di dengar dari seseorang
(si fulan) tanpa diikuti dengan perintah untuk meriwayatkan nya.Menurut In
Shalah dan an-Nawawi, meriwayatkan dengan cara ini dianggap sah para ahli ushul
fiqh dan ahli fiqih.namun ahli hadis memperbolehkannya untuk ini.
5.
Mukatabah,yaitu
seorang guru menulis sendiri atau menyuruh orang lain menulis menulis beberapa
hadis untuk seseorang, baik yang berada di tempat lain atau pun yang berada di
hadapannya. Mukatabah terbagi ke dalam dua bentuk, di barengi dengan ijazah,
dan tidak di barengi dengan ijazah. Hukum Mukatabah dengan ijazah adalah sah
dan mempunyai martabat yang kuat.Demikian juga dengan Mukatabah yang tidak
dibarengi ijazah dapat diamalkan menurut sebagian ulama belakangan.Riwayat
jenis ini banyak di temukan didalam kitab-kitab Musnad dan Mushannaf.Terlebih
lagi hal ini dapat pula dijumpai di dalam Shahih al-Bukhari maupun Shahih
Muslim.Di dalam ke dua kitab shahih ini banyak ditulis bentuk mukatabah di
dalam sanad.Sementara itu,Al-Mawardi,Al-Amidi dan Ibn Al-Qaththan, memandang
mukatabah jenis ini tidak sah.
6.
Wijadah,yaitu
seseorang memperoleh tulisan hadis orang lain yang tidak diriwayatkan nya,baik
dengan lafal sama’,qira’ah,atau lainnya dari pemilik hadis atau pemilik tulisan
tersebut.Ulama berberda pendapat tentang kedudukan-kedudukan hadis yang
diriwayatkan dengan wijadah.Ulama Mazhab dari golongan Maliki tidak
memperbolehkan wijadah, sementara Asy-Syafi’i membolehkannya. Dalam pada
itu,ulama Muhaqqiqin mewajibkan mengamalkannya bila yakin atas kebenarannya.
7.
Washiyah,
yaitu pesan seseorang ketika akan menemui ajalnya atau akan melakukan
perjalanan, terhadap sebuah kitab supaya diriwayatkan. Ibn Sirin membolehkan
mengamalkan hadis yang di riwayatkan dengan cara washiyah ini, tetapi Jumhur
ulama tidak membolehkannya, bila yang menerima washiyah tidak mempunyai ijazah
dari pewasiat.
8.
Ham,
yaitu pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa hadis yang diriwayatkan
merupakan riwayatnya sendiri yang diterima dari guru seseorang dengan tidak
mengatakan (menyuruh) agar murid tersebut meriwayatkannya.Kedudukan hadis
berdasarkan ham diatas tidak diperbolehkan ulama.Karena,kemungkinan bahwa sang
guru telah mengetahui bahwa dalam hadis tersebut ada cacatnya.
C. CARA-CARA MENYAMPAIKAN RIWAYAT..
1.Lafal-lafal untuk
Meriwayatkan Hadis
Karena adanya perbedaan cara-cara perawi menerima hadis dari
gurunya, mengakibatkan terjadinya perbedaan lafal dalam menyampaikannya
kembali.Perbedaan itu juga memiliki implikasi terhadap nilai suatu hadis.Hadis
yang diriwayatkan dengan lafal sama’(sami’tu, Akhbaranu), tahdits (Haddatsany,
Haddatsana) dan Ikhbar (Akhbarani, Akhbarana) lebih kuat ketimbang lafal ‘an’
anah (‘an,anna).Oleh sebab itu,mengetahui lafal-lafal penerimaan,dan
periwayatan penting diketahui dalam kaitannya dengan kekuatan suatu hadis.
Lafal-lafal yang
dipergunakan dalam menyampaikan hadis,dapat dikelompokkan dalam 2 kelompok:
a.
Lafal
para periwayat yang mendengar langsung dari nya,yaitu:
سمعت : سمعنا
(Aku telah mendengar : kami telah
mendengar)
Nilai hadis yang diriwayatkannya denga menggunakan lafal ini sangat
tinggi martabatnya.sebab,para periwayatnya mendengar sendiri hadis yang
diriwayatkannya,baik berhadapan dengan guru yang di berikannya atau dari
belakang tabir.
Kemudian lafal:
حد ثني : حد ثنا
(ia telah bercerita kepadaku : ia telah bercerita kepada kami)
Lafal-lafal tahdis tersebut terkadang disingkat sebagai berikut.
Lafalثني,
ني, دثني disingkat untuk ثنيحد ,lafal, نا, ثنا ثنا untuk ثناحد
Setelah itu lafal:
ا خبرني : اخبر
نا
(ia telah memberitakan kepadaku:ia telah memberitakan kepada kami).
Lafal-lafal tahdis tersebut terkadang disingkat
sebagai berikut.Lafal,ارنا, ابنا, اخنا انا
disingkat untuk خبرنيا dan اخبرنا.Asy-Syafii
membedakan lafal luzdatsana dengan akhbarana.Lafal haddatsarut untuk periwayat
yang mendengar langsung dari gurunya,sedangkan akhbarana untuk periwayat yang
membaca atau menghafal hadis dihadapan guru, kemudian sang guru membenarkan.
Kemudian lafal:
انبانا : نبانا
(ia memberi tahukan kepadaku : ia memberitahukan kepada kami).
7
Lafal lainnya adalah:
قال لي فلان
: قل لن فلان : د كرلي فلان: دكر لنا
فلان.
(seseorang telah berkata kepadaku : seseorang telah berkata
kepada kami :seseorang telah menuturkan
kepadaku : seseorang telah menutrkan kepada kami).
Selain lafal-lafal tersebut diatas terkadang dijumpai beberapa
singkatan.Lafal
قثنا untuk ungkapan قال حدثنا dan lafal قثني untuk ungkapan قال حدثني.Adapun ح merupakan
singkatan dari tahawwul,yakni 1 hadis mempunyai 2 sanad atau lebih.Jika penulis
hadis telah selesai menulis sanad pertama maka jika ia hendak beralih sanad
lainnya maka ia menulis rumus itu.Namun,ada pula yang berpendapat bahwa rumur
itu adalah ringkasan dari lafal shahha (shahhih), dan ada juga yang berpendapat
bahwa lafal itu ringkasan dari lafal al-hadits yang berarti: seterusnya,seperti
lafal al-ayah jika memenggal penulisan al-quran.
b.
Lafal
para periwayat yang mungkin mendengar sendiri atau tidak mendengar
sendiri,yaitu:
رؤي : حكي :عن :
ان
(Di riwayatkan: dihikayatkan: dari: bahwasanya)
Hadis yang
diriwayatkan dengan lafal tamridh tersebut tidak otomatis mengindifikasikan
bahwa nabi benar-benar menyabdakannya,kecuali dengan adanya qariruzh yang lain.
2.Kedudukan
Riwayat Mu’an’an dan Mu’annan
Seorang periwayat yang meriwayatkan hadis dengan lafal ‘an,maka
hadis itu disebut Mu’an’an.Adapun periwayatnya disebut dengan Mu’an’in.Jika
seorang periwayat meriwayatkan hadis dengan lafal ann,maka hadis nya disebut
Mu’annan dan ia disebut mu’annin.
Hadis
yang diriwayatkan dengan cara tersebut diatas dapat dihukumkan muttashil dengan
memenuhi syarat-syarat tertentu.menurut al-Bukhari dan Ibn al-madini, syaratnya
adalah:
a.
Periwayatnya
bukan seorang mudczllis.
b.
Periwayatnya
harus pernah berjumpa dengan guru yang hadisnya ia riwayatkan itu.
Persyaratan
ini dikenal didalam literatur ilmu hadis dengan’’isytirath ahnu’asharah’’.
Menurut sebagian lainnya periwayat harus diketahui dengan yakin,bahwa ia benar2
menerima hadis tersebut dari gurunya.
BAB III
PENUTUP
A. .Kesimpulan
Perawi adalah diadopsi dari
istilah aslinya yaitu "Rawi". Kata rawi atau ar-rawi berarti orang
yang meriwayatkan atau memberikan hadits (Naqil al-Hadits). Adapun
syarat-syarat perawi hadits, yaitu :
a.
Berakal
b.
Cermat
c.
Adil
d.
Islam
e.
Sanadnya harus muttasil (bersambung).
f.
Kuat ingatannya
g.
Tidak bertentangan dengan perawi yang lebih baik dan
lebih dapat dipercaya.
h.
Tidak beillat
i.
Rawi mencapai jumlah tertentu yang mereka tidak
mungkin sepakat untuk berbohong. Tentang rincian jumlahnya terdapat perbedaan
pendapat.
j.
Perawi mengetahui secara pasti apa yang diberitakannya
k.
Pengetahuan mereka tentang berita itu berdasarkan
kepada pengamatan sendiri, bukan atas dasar perasaan atau pemikirannya.
B.
Saran
Sebagai
mahasiswa kita harus dapat menunjukkan etika yang baik di mata masyarakat namun
bukan berarti kita harus menjadi orang yang sempurna. Yang menjadi tolak ukur
disini adalah kekurangannya dapat di tutupi oleh kelebihannya.
2Dr.
Muhammad Alawi Al-Maliki, Studi
Ilmu Hadis,
(Yogyakarta: Pustakapelajar,
2006)
hal. 153
3http://id.shvoong.com/
No comments:
Post a Comment