Friday, July 29, 2016

SYARAT SEORANG PERAWI DAN PROSES TRANSPORMASI PERIWAYATAN HADIS


                                                              BAB I
                                                     PENDAHULUAN.

A... LATAR BELAKANG
            Dalam meriwayatkan dan menerima hadis dari seorang periwayat kepada periwayat yang lain, di temukan berbagai cara yang ditempuh para periwayat tersebut. Cara-cara itu dapat diklafikasikan kepada beberapa klafikasi sesuai dengan realitas objektif periwayat dalam menerima dan menyampaikan hadis dari dan kepada periwayat yang lain. Selain itu, ulama juga membicarakan tentang syarat diterimanya suatu periwayatan yang dihubungkan dengan usia orang yang menerima atau menyampaikan periwayatan tersebut. Hal ini perlu diketahui karena berhubungan dengan permasalahan legitimasi terhadap tranformasi periwayatan dan penerimaan hadis.

B. RUMUSAN MASALAH
1.      Apa saja syarat-syarat periwayatan hadits?
2.      Bagaimana cara-cara menyampaikan riwayat ?
3.      Bagaimana cara menerima hadits?

C.. TUJUAN
            Untuk menjadikan pendorong kelompok kami, betapa pentingnya “STUDI HADITS” untuk kita pelajari sehingga kita dapat menjadi berkepribadian yang baik namun bukan berarti kita harus menjadi orang yang sempurna, karena tidak menutup kemungkinan seorang ulama atau penguasa yang baik tentu banyak memiliki kekurangan. Dan juga bertujuan untuk kita lebih mengetahui perbedaan antara hadis sahih atau tidak nya, kuat atau lemah nya hadis tersebut dengan melihat siapa periwayat atau perawi hadis tersebut, jadi kita bisa membedakan antara hadits palsu dan hadits sahih serta mengetahui proses transformasi periwayatan hadits.

                                                               BAB II

                                                       PEMBAHASAN

SYARAT SEORANG PERAWI DAN PROSES TRANSPORMASI PERIWAYATAN HADIS..


A.SYARAT- SYARAT  PERIWAYATAN
Rawi berasal dari bahasa Arab riwayah yang berarti memindahkan atau meriwayatkan. Secara istilah rawi adalah orang yang menerima hadits, meriwayatkan hadits,menyampaikan dan menyebutkan rangkaian perawinya kepada orang lain.Salah satu cabang dari penelitian hadits adalah penelitian terhadap rawi hadits.Ulama berbeda pendapat tentang sah atau tidak anak-anak yang belum balig menerima persyaratan. Sejalan dengan hal itu mereka juga berselisih pendapat tentang periwayat yang masih dalam kekafiran atau dalam keadaan fasiq ketika ia menerima Hadis dari nabi saw. Jumhur ahli hadis berpendapat bahwa seorang yang menerima hadis ketika masih anak-anak  atau masih dalam keadaan kafir atau dalam keadaan fasiq dapat d terima periwayatannya bila ia menyampaikannya dalam kondisi yang dapat di terima. Yaitu, anak-anak yang sudah dewasa, orang kafir telah masuk islam dan orang yang fasiq telah bertaubat.
Alasan jumhur tentang anak-anak yang belum dewasa dapat di benarkan menerima riwayat ialah jima’.Sebab, tidak ditemukan seorang ulama yang  membantah dan membeda-bedakan riwayat-riwayat para sahabat yang diterima sebelum dan sesudah dewasa. Banyak sahabat yang menerima hadis sewatu beliau belum dewasa, seperti Hasan, Husein, Ibn’Abbas, dan Nu’man bin Basyir.Namun demikian, mereka berbeda pendapat di seputar batas minimal umur anak-anak yang diterima periwayatannya itu.Menurut  Jumhur, batas umur minimalnya ialah 5 tahun.Sebab, dari umur inilah anak-anak mulai menginjak masa mumayyiz.Selain itu, di temukan juga ulama yang  tidak  membatasi umur tersebut. Namun, mensyaratkan tercapainya ketamyizan, yaitu biasanya talah lewat umur 5 tahun. Tetapi, IbnWa’in menetapkan batas usia anak tersebut harus telah mencapai umur 15 tahun. Beliau mengajukan alasan Hadis Ibn’Umar sebagai berikut:

عر ضت على ا لنبى  صلى  اللة علىة و سلم  ىو م احد و ان ابن ا ربع  عشرة سنة قلم ىحز نى و عر ضت علىة ىو م ا خلندق  وانا خمس عشرة فاجازنى.                                                                                                                 
Artinya: ( Aku di hadapkan kepada rasulullah saw. Pada waktu perang uhud,  di saat itu aku baru berumur 14 tahun, beliau tidak memperkenankan aku. Kemudian aku di hdapkan kepada nabi saw. Pada waktu perang Khandak, disaat itu saya berumur 15 tahun, beliau memperkenankan aku.)1


1Prof. Dr. H. Ramli Abdul Wahid,MA, Studi Ilmu Hadis, (Bandung: Ciptapustaka Media Perintis, 2002) hal. 134

3

                Berkenaan dengan riwayat orang fasiq sebelum meriwayatkan hadis didasarkan kepada qiyas  aulawi sebagaimana yang di lakukan Ibnu Hajar. Artinya, kalau penerimaan riwayat orang kafir yang kemudian disampaikannya setelah memeluk agama islam dapat di terima, apalagi penerimaan  orang fasiq yang di sampaikan setelah taubat dan di akui sebagai orang yang adil, tentu lebih dapat di terima.
            Berkenaan dengan riwayat orang gila setelah sehat,tetap tidak dapat diterima.Sebab ketika ia gila kesadarannya telah hilang,sehingga tidak dapat dikatakan sebagai orang yang dhabith.
Dalam suatu hadist,faktor yang mempengaruhi diterima atau tidaknya suatu hadits tergantung pada kualitas rawi. Rawi bukanlah orang yang asal-asalan menerima hadits tanpa disertai dengan sifat-sifat yang mendukung dirinya untuk menjadi seorang periwayat hadits. Suatu hadits atau berita dianggap keasliannya apabila pembawa berita tersebut memili persyaratan kejuuran dan kemampuan untuk mempertanggung jawabkan berita tersebut.

Berikut ini adalah syarat-syarat kualitas perawi dalam periwayatan hadits :

1.      Baligh yaitu perawi harus cukup umur ketika meriwayatkan suatu hadits meskipun ia masih dalam usia muda dalam menerima hadits.
2.      Muslim yaitu seorang perawi harus beragama Islam ketika menerima maupun menyampaikan hadits.
3.      ‘Adalah yaitu perawi adalah seorang muslim yang baligh, berakal dan tidak melakukan dosa kecil maupun besar.
4.      Dhabith yaitu bisa menangkap apa yang didengarnya dan data menghapalnya dengan baik serta dapat menyampaikan apabila dibutuhkan.Orang yang tsiqah (terpercaya) dalam agamanya adalah orang yang bias diterima hadis dan riwayatnya,mereka itulah orang yang adil dan dhabith.2
5.      Tidak shaydz artinya hadits yang diriwayatkan tidak berlawanan dengan al Quran.
6.      Perawi harus berasal dari orang-orang yang syiqoh.
7.      Perawi harus memperhatikan ibadahnya dan hal-hal yang dia lakukan.

Dari beberapa syarat tersebut yang lebih ditekankan adalah keadilan dan kedhabitan. Selain syarat-syarat menjadi perawi, kualitas perawi juga sangat penting karena inilah yang menentukan hadits itu bisa diterima atau tidak.3

https://www.youtube.com/watch?v=zrPjBYEp8Sw
B. .TAHAMMUL WA AL-AD
Tahammul wal – ad adalah “mengambil atau menerima“ hadits dari salah seorang guru dengan salah satu cara tertentu dan proses mengajarkannya (meriwayatkan) hadits dari seorang guru kepada muridnya.Ulama mengklasifikasikan cara-cara menerima riwayat ke dalam delapan cara,yaitu:
1.      Sama’, yakni periwayat mendengar langsung dari perkataan gurunya dengan cara didiktekan atau lainnya; baik dari hafalannya maupun dari tulisannya,Menurut Jurnhur ini merupakan cara yang paling tinggi nilainya.Sebab di masa rasul, cara inilah yang dilakukan para sahabat dari nabisaw. Dengan cara ini, terpeliharalah kekeliruan dan kelupaan. Perlu di tambahkan, mendengar perkataan guru dari belakang hijab, tetap di anggap sah menurut Jumhur, selagi berkeyakinan bahwa suara yang di dengar itu benar-benar suara gurunya yang di maksud.Sebab, para sahabat mendengarkan hadis-hadis dari ‘Aisyah dan isteri-isteri Rasulullah saw. Dari belakang tabir.
Lafal-lafal yang dipergunakan oleh periwayat atas dasar sama’,ialah:
a.       Akhbarani ; akhbaranu
b.      Haddatstsani ; haddatstsana
c.       Sami’tu ; sami’na

2.      Al-Qiraah ‘ala asy-Syikh, yakni, si pembicara menyungguhkan suatu hadis ke hadapan gurunya, baik ia sendiri yang membaca hadis tersebut maupun orang lain dan dia mendengarkannya. Cara ini menurut ulama adalah sah dan periwayatan qira’ah tersebut dapat di amalkan.
Lafal-lafal yang digunakan untuk menyampaikan hadis-hadis qira’ah tersebut sebagai berikut:
a.       Qara’tu ‘alaih
b.      Quri’a ‘ala fulan wa ana asma’
c.       Haddatsana aw akhbarana qira’ah ‘alaih

3.      Ijazah, yaitu pemberian izin dari seseorang kepada orang lain untuk meriwayatkan hadis dariny, atau kitab-kitabnya.Kedudukan periwayatan dengan ijazah tersebut diperselisihkan ulama.Ada yang tidak memperbolehkannya.Sebab,jika diizinkan periwayatan dengan Ijazah,tentu tuntutan untuk pergi mencari hadis gugur dengan sendirinya. Namun, menurut Jumhur, periwayatan dengan ijazah tersebut diperkenankan dan dapat diamalkan. Bahkan, hal ini di duga telah mendapat persepakatan ummat.
Ijazah mempunyi 3 bentuk, yaitu:
a.       Ijazah fi mu’ayyanin li mu’ayyanin (izin untuk meriwayatkan sesuatu yang tertentu kepada orang yang tertentu)
b.      Ijazah fighair ma’ayyanin li mu’ayyanin (izin untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu kepada orang yang tidak tertentu)
c.       Ijazah ghair mu’ayyan bi ghairi mu’ayyan (izin untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu kepada orang yang tidak tertentu)

4.      Munawalah, yaitu seorang guru memberikan sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang sudah di koreksinya untuk di riwayatkan.
Munawalah dapat diklafikasikan kepada dua macam, yaitu:
a.       Dibarengi ijazah, misalnya setelah guru menyerahkan kitab asli atau salinannya, lalu naskah itu di bacakan oleh muridnya di hadapan gurunya, lalu ia mengatakan, “ Itu adalah periwayatanku, maka riwayatkanlah.”Periwayatan ini diperkenankan dan bahkan ada yang berpendapat kebolehannya itu secara ijma’. Karena itu, tidak diragukan lagi adanya kewajiban untuk mengamalkan nya.
b.      Tanpa di barengi ijazah ketika sebuah naskah ash atau salinannya diberikan kepada muridnya dan mengatakan bahwa itu adalah riwayat yang di dengar dari seseorang (si fulan) tanpa diikuti dengan perintah untuk meriwayatkan nya.Menurut In Shalah dan an-Nawawi, meriwayatkan dengan cara ini dianggap sah para ahli ushul fiqh dan ahli fiqih.namun ahli hadis memperbolehkannya untuk ini.
5.      Mukatabah,yaitu seorang guru menulis sendiri atau menyuruh orang lain menulis menulis beberapa hadis untuk seseorang, baik yang berada di tempat lain atau pun yang berada di hadapannya. Mukatabah terbagi ke dalam dua bentuk, di barengi dengan ijazah, dan tidak di barengi dengan ijazah. Hukum Mukatabah dengan ijazah adalah sah dan mempunyai martabat yang kuat.Demikian juga dengan Mukatabah yang tidak dibarengi ijazah dapat diamalkan menurut sebagian ulama belakangan.Riwayat jenis ini banyak di temukan didalam kitab-kitab Musnad dan Mushannaf.Terlebih lagi hal ini dapat pula dijumpai di dalam Shahih al-Bukhari maupun Shahih Muslim.Di dalam ke dua kitab shahih ini banyak ditulis bentuk mukatabah di dalam sanad.Sementara itu,Al-Mawardi,Al-Amidi dan Ibn Al-Qaththan, memandang mukatabah jenis ini tidak sah.

6.      Wijadah,yaitu seseorang memperoleh tulisan hadis orang lain yang tidak diriwayatkan nya,baik dengan lafal sama’,qira’ah,atau lainnya dari pemilik hadis atau pemilik tulisan tersebut.Ulama berberda pendapat tentang kedudukan-kedudukan hadis yang diriwayatkan dengan wijadah.Ulama Mazhab dari golongan Maliki tidak memperbolehkan wijadah, sementara Asy-Syafi’i membolehkannya. Dalam pada itu,ulama Muhaqqiqin mewajibkan mengamalkannya bila yakin atas kebenarannya.

7.      Washiyah, yaitu pesan seseorang ketika akan menemui ajalnya atau akan melakukan perjalanan, terhadap sebuah kitab supaya diriwayatkan. Ibn Sirin membolehkan mengamalkan hadis yang di riwayatkan dengan cara washiyah ini, tetapi Jumhur ulama tidak membolehkannya, bila yang menerima washiyah tidak mempunyai ijazah dari pewasiat.

                                                                                        
8.      Ham, yaitu pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa hadis yang diriwayatkan merupakan riwayatnya sendiri yang diterima dari guru seseorang dengan tidak mengatakan (menyuruh) agar murid tersebut meriwayatkannya.Kedudukan hadis berdasarkan ham diatas tidak diperbolehkan ulama.Karena,kemungkinan bahwa sang guru telah mengetahui bahwa dalam hadis tersebut ada cacatnya.

C. CARA-CARA MENYAMPAIKAN RIWAYAT..
     1.Lafal-lafal untuk Meriwayatkan Hadis
                Karena adanya perbedaan cara-cara perawi menerima hadis dari gurunya, mengakibatkan terjadinya perbedaan lafal dalam menyampaikannya kembali.Perbedaan itu juga memiliki implikasi terhadap nilai suatu hadis.Hadis yang diriwayatkan dengan lafal sama’(sami’tu, Akhbaranu), tahdits (Haddatsany, Haddatsana) dan Ikhbar (Akhbarani, Akhbarana) lebih kuat ketimbang lafal ‘an’ anah (‘an,anna).Oleh sebab itu,mengetahui lafal-lafal penerimaan,dan periwayatan penting diketahui dalam kaitannya dengan kekuatan suatu hadis.
            Lafal-lafal yang dipergunakan dalam menyampaikan hadis,dapat dikelompokkan dalam 2 kelompok:
a.       Lafal para periwayat yang mendengar langsung dari nya,yaitu:
 سمعت : سمعنا
(Aku telah mendengar : kami telah mendengar)

Nilai hadis yang diriwayatkannya denga menggunakan lafal ini sangat tinggi martabatnya.sebab,para periwayatnya mendengar sendiri hadis yang diriwayatkannya,baik berhadapan dengan guru yang di berikannya atau dari belakang tabir.
Kemudian lafal:
حد ثني : حد ثنا
(ia telah bercerita kepadaku : ia telah bercerita kepada kami)

Lafal-lafal tahdis tersebut terkadang disingkat sebagai berikut.
Lafalثني, ني, دثني   disingkat untuk  ثنيحد ,lafal, نا, ثنا  ثنا untuk  ثناحد

Setelah itu lafal:
ا خبرني : اخبر نا
(ia telah memberitakan kepadaku:ia telah memberitakan kepada kami).

Lafal-lafal tahdis tersebut terkadang disingkat sebagai berikut.Lafal,ارنا, ابنا, اخنا انا disingkat untuk خبرنيا  dan اخبرنا.Asy-Syafii membedakan lafal luzdatsana dengan akhbarana.Lafal haddatsarut untuk periwayat yang mendengar langsung dari gurunya,sedangkan akhbarana untuk periwayat yang membaca atau menghafal hadis dihadapan guru, kemudian sang guru membenarkan.
Kemudian lafal:
انبانا : نبانا
(ia memberi tahukan kepadaku : ia memberitahukan kepada kami).



7

Lafal lainnya adalah:
قال لي فلان :  قل لن فلان : د كرلي فلان: دكر لنا فلان.

(seseorang telah berkata kepadaku : seseorang telah berkata kepada kami  :seseorang telah menuturkan kepadaku : seseorang telah menutrkan kepada kami).

Selain lafal-lafal tersebut diatas terkadang dijumpai beberapa singkatan.Lafal
قثنا untuk ungkapan قال حدثنا  dan lafal قثني untuk ungkapan قال حدثني.Adapun ح merupakan singkatan dari tahawwul,yakni 1 hadis mempunyai 2 sanad atau lebih.Jika penulis hadis telah selesai menulis sanad pertama maka jika ia hendak beralih sanad lainnya maka ia menulis rumus itu.Namun,ada pula yang berpendapat bahwa rumur itu adalah ringkasan dari lafal shahha (shahhih), dan ada juga yang berpendapat bahwa lafal itu ringkasan dari lafal al-hadits yang berarti: seterusnya,seperti lafal al-ayah jika memenggal penulisan al-quran.


b.      Lafal para periwayat yang mungkin mendengar sendiri atau tidak mendengar sendiri,yaitu:
رؤي : حكي :عن : ان
                                (Di riwayatkan: dihikayatkan: dari: bahwasanya)

Hadis yang diriwayatkan dengan lafal tamridh tersebut tidak otomatis mengindifikasikan bahwa nabi benar-benar menyabdakannya,kecuali dengan adanya qariruzh yang lain.

       2.Kedudukan Riwayat Mu’an’an dan Mu’annan
            Seorang periwayat yang meriwayatkan hadis dengan lafal ‘an,maka hadis itu disebut Mu’an’an.Adapun periwayatnya disebut dengan Mu’an’in.Jika seorang periwayat meriwayatkan hadis dengan lafal ann,maka hadis nya disebut Mu’annan dan ia disebut mu’annin.
            Hadis yang diriwayatkan dengan cara tersebut diatas dapat dihukumkan muttashil dengan memenuhi syarat-syarat tertentu.menurut al-Bukhari dan Ibn al-madini, syaratnya adalah:
a.       Periwayatnya bukan seorang mudczllis.
b.      Periwayatnya harus pernah berjumpa dengan guru yang hadisnya ia riwayatkan itu.
           
            Persyaratan ini dikenal didalam literatur ilmu hadis dengan’’isytirath ahnu’asharah’’. Menurut sebagian lainnya periwayat harus diketahui dengan yakin,bahwa ia benar2 menerima hadis tersebut dari gurunya.


BAB III
PENUTUP


A. .Kesimpulan
Perawi adalah diadopsi dari istilah aslinya yaitu "Rawi". Kata rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan hadits (Naqil al-Hadits). Adapun syarat-syarat perawi hadits, yaitu :
a.       Berakal
b.      Cermat
c.       Adil
d.      Islam
e.       Sanadnya harus muttasil (bersambung).
f.       Kuat ingatannya
g.      Tidak bertentangan dengan perawi yang lebih baik dan lebih dapat dipercaya.
h.      Tidak beillat
i.        Rawi mencapai jumlah tertentu yang mereka tidak mungkin sepakat untuk berbohong. Tentang rincian jumlahnya terdapat perbedaan pendapat.
j.        Perawi mengetahui secara pasti apa yang diberitakannya
k.      Pengetahuan mereka tentang berita itu berdasarkan kepada pengamatan sendiri, bukan atas dasar perasaan atau pemikirannya.

                        
B. Saran
Sebagai mahasiswa kita harus dapat menunjukkan etika yang baik di mata masyarakat namun bukan berarti kita harus menjadi orang yang sempurna. Yang menjadi tolak ukur disini adalah kekurangannya dapat di tutupi oleh kelebihannya.



           




2Dr. Muhammad Alawi Al-Maliki, Studi Ilmu Hadis, (Yogyakarta: Pustakapelajar, 2006) hal. 153
3http://id.shvoong.com/















No comments:

Post a Comment