Friday, July 29, 2016

KEDUDUKAN SUNNAH DALAM SYARIAT ISLAM



BAB I...
PENDAHULUAN
 
A.  Latar Belakang
Pengertian sunnah secara etimologi berarti tata cara. Menurut pengarang kitab lisan al-Arab mengutip pendapat syammar sunnah berarti cara atau jalan, yaitu jalan yang di lalui orang-orang yang dahulu kemudian diikuti oleh orang-orang belakangan. Dalam kitab mukhtar al-shihah disebutkan bahwa sunnah secara etimologi berarti tata cara dan tingkah atau prilaku hidup, baik prilaku itu terpuji atau tercela. Pada masa rasulullah saw. tidak ada sumber hukum selain al-kitab dan as-sunnah. Di dalam kitabullah ta’ala terdapat pokok-pokok yang bersifat umum bagi hukum-hukum syariat, tanpa pemaparan rincian keseluruhannya dan cabangnya, kecuali yang sejalan dengan pokok-pokok yang bersifat umum itu yang tidak pernah berubah oleh bergulirnya waktu dan tidak berkembang lantaran keragaman manusia di lingkungan dan tradisi masing-masing meski bagaimanapun kondisi lingkungan dan tradisinya, umat manusia dapat menemukan didalam ajaran yang dapat memenuhi kebutuhan pembentukan hukum untuk mencapai kedinamisan dan kemajuan. Secara global, sunnah sejalan dengan al-qurán, menjelaskan yang mubham, merinci yang mujmal, membatasi yang mutlak, mengkhususkan yang umum dan menguraikan hukum-hukum dan tujuan-tujuannya, disamping membawa hukum-hukum yang belum di jelaskan secara eksplisit oleh al-qurán yang isinya sejalan dengan kaidah-kaidahnya dan merupakan realisasi dari tujuan dan sasarannya.[1]


      B.     Rumusan Masalah...
Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi rumusan masalah makalah ini adalah:
1.    Bagaimana definisi Sunnah ?
2.    Bagaimana kedudukan sunnah dalam syariat Islam ?
3.    Bagaimana Fungsi sunnah sebagai sumber hukum ?
4.    Apa saja pembagian Sunnah ?

C.  ...Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.    Untuk mengetahui definisi sunnah dalam syariat islam.
2.    Untuk mengetahui kedudukan sunnah dalam syariat islam
3.    Untuk mengetahui fungsi dan pembagian sunnah sebagai sumber hukum.


BAB II
PEMBAHASAN
KEDUDUKAN SUNNAH DALAM SYARIAT ISLAM

A.       PENGERTIAN SUNNAH...

 Menurut bahasa, sunnah berarti :
اَلسِّيْرَةُوَالطَّرِيْقَةُالْمُعْتَادَةُحَسَنَةًكَانَتْ أَوْقَبِيْحَةً.                                                                      
A      artinya:
           Kebiasaan dan jalan (cara) yang baik dan yang jelas.[2]
Menurut bahasa lain, sunnah berarti :

اَلسِّيْرَةُ حَسَنَةً كَانَتْ أَوْسَيِّئَةً,أَوْلَطَّرِيْقَةُ الْمُستَقِيْمَةُ.
Artinya :
“ Jalan (yang dilalui) baik yang terpuji atau yang tercela ataupun yang jalan yang lurus atau tuntunan yang tetap (konsisten).”[3]

Sunnah menurut etimologi berarti cara yang bisa ditempuh (inisiatif), baik ataupun buruk, sebagaimana sabda Nabi SAW:
“Barangsiapa membuat inisiatif yang baik, ia akan mendapatkan pahala dan pahala orang-orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa sedikit pun berkurang; dan barangsiapa membuat inisiatif yang jelek, ia akan mendapatkan dosa dan dosa orang-orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa sedikit pun berkurang.” (HR.Muslim).[4]
Sunnah, atau yang searti denganya, secara berulang-ulang dipakai dalam hadis, yang pada prinsipnya berarti jalan. Adapun berkenaan dengan sunnah menurut terminologi, para ulama berbeda pendapat.
Sedangkan mengenai arti sunnah menurut istilah, di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat. Hal ini disebabkan perbedaan pendapat. Hal ini disebabkan perbedaan latar belakang dan persepsi masing-masing terhadap diri Rasulullah SAW.secara garis besarnya, mereka terbagi menjadi tiga golongan: ahli hadis, ahli ushul, dan ahli fiqih.
Ulama hadis mendefinisikan sunnah sebagai segala sesuatu yang dihubungkan kepada Nabi SAW. Tetapi, menurut sebagian ahli hadis, sunnah itu termasuk segala sesuatu yang dihubungkan kepada sahabat atau tabi’in, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, ataupun sifat-sifatnya.
Menurut ulama ushul fiqh, sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW, selain Al-Qur’an, baik perkataan, perbuatan, taqrir, yang dapat menjadi dalil-dalil hukum syara’.
Ulama fiqh sunnah mendefinisikan, sunnah adalah apa saja yang benar dari Nabi SAW dalam utusan agama, yang berkaitan dengan hal wajib atau fardhu yang di dalamnya terkandung unsur memfardhukan atau mewajibkan.
Sedang ulama yang bergelut di bidang dakwah mendefinisikan sunnah ialah apa saja yang bukan bid’ah.
As-Sunnah menurut istilah syar’i ialah sabda, perbuatan dan taqrir (persetujuan) yang berasal dari Rasulullah SAW.
Sesuai dengan tiga hal tersebut di atas yang disandarkannya kepada Rasulullah saw. Maka sunnah itu dapat dibedakan kepada 3 macam, yaitu :
a.       Sunnah qauliyah (perkataan)
b.      Sunnah fi’liyah (perbuatan), dan
c.       Sunnah taqririyah ( persetujuan).[5]
Jadi dapat disimpulkan bahwa sunnah berarti sumber pembentukan hukum Islam yang oleh para ulama dan mujtahidin dijadikan sebagai rujukan istinbath dalam hukum syariat baik ucapan, perbuatan, atau taqrir yang sampai kepada kita dengan jalan Mutawatir dan Ahad dengan sanad yang shahih, maka wajib bagi kita untuk menerimanya dan mengamalkannya.[6]

B.       KEDUDUKAN SUNNAH DALAM SYARIAT ISLAM...
Kedudukan sunnah dari segi statusnya sebagai dalil dan sumber ajaran islam, menurut jumhur ulama adalah menempati posisi kedua setelah al-quran. Hal tersebut bisa dipahami dari hadits yang berasal dari Mu’adz berikut :
Artinya:
Bahwasannya tatkala Rasulullah SAW hendak mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman, beliau bertanya kepada Mu’adz, “Bagaimana engkau memutuskan perkara jika diajukan kepadamu?” Maka Mu’adz menjawab, “Aku akan memutuskan berdasarkan kitab Allah (Al-Quran).” Rasul bertanya lagi, “Apabila engkau tidak menemukan jawabannya di dalam Kitab Allah ?” Mu’adz berkata, “Aku akan memutuskannya dengan sunnah.” Rasul selanjutnya bertanya, “Bagaimana kalau engkau juga tidak menemukannya di dalam sunnah dan tidak di dalam Kitab Allah ?” Mu’adz menjawab, “Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku” Rasul SAW menepuk dada Mu’adz seraya berkata, “Alhamdulillah atas taufik yang telah dianugerahkan Allah kepada utusan RasulNya.”[7]
    
Juga firman Allah ‘Azza wa Jalla dalam Qur’an surat an-nisa` ayat 59:
يا أيّها الّذين امنوا أطيعوا اللّه وأطيعوا الرسول واولى الأمر منكم فإن تنازعتم في شيء فردّوه إلى اللّه والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الاخر........
       Artinya :
Wahai orang orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya, dan ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia (masalah tersebut) kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Hadits) jika kamu benar benar beriman kepada Allah dan hari kemudian…..” [8]
Hadis yang mewajibkan untuk mengikuti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam segala perkara, di antaranya ialah
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبَى، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجنَّةَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Setiap ummatku akan masuk Surga, kecuali yang enggan.” Mereka (para Shahabat) bertanya: “Siapa yang enggan itu?” Jawab beliau: “Barangsiapa yang mentaatiku pasti masuk Surga, dan barangsiapa yang mendurhakaiku, maka sungguh ia telah enggan.”[9]

عَنْ أَبِي رَافِعٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ أُلْفِيَنَّ أَحَدُكُمْ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيْكَتِهِ يَأْتِيْهِ اْلأَمْرُ مِنْ أَمْرِي مِمَّا أَمَرْتُ بِهِ أَوْ نَهَيْتُ عَنْهُ فَيَقُوْلُ: لاَ نَدْرِي مَا وَجَدْنَا فِي كِتَابِ اللهِ اتَّبَعْنَاهُ.

Dari Abi Rafi’ Radhiyallahu anhu, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Nanti akan ada seorang di antara kalian yang duduk bersandar di sofanya lalu datang kepadanya perintah dari perintahku dari apa-apa yang aku perintah dan aku larang. Ia berkata: ‘Aku tidak tahu apa-apa. Yang kami dapati dalam Kitabullaah kami ikuti (dan yang tidak terdapat dalam Kitabullah kami tidak ikuti).”[10]

عَنأَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَ هُمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِيْ وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْض.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : ‘Aku tinggalkan dua perkara yang kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya yaitu Kitabullah dan Sunnahku, serta keduanya tidak akan berpisah sampai keduanya mendatangiku di Telaga (di Surga).”[11]
Dalil dalil yang menunjukkan kehujjahan sunnah Rasul SAW sebagai sumber ajaran islam terdapat juga di dalam sunnah Rasul SAW itu sendiri.
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْاما أنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللّه وَسُنّتِي.
 Artinya :
 Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara. Kalian tidak akan tersesat selama masih berpegang pada keduanya, yaitu kitabullah dan sunnahku.”[12]
Pada sunnah (hadist) lainnya beliau juga bersabda
أَلآ إنِّي أُوْتِيْتُ الْكِتَابَ وَمِثْلّهُ مَعَهُ
Artinya : 
“Ingatlah, sesungguhnya aku diberi Al-Kitab dan yang semisalnya bersamanya.”[13]
Di dalam kitab Fathul Baari terdapat hadits berikut :
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنّةِ الْخُلَفَاءِ الرّاشِدِيْنِ
Artinya ;
 Tetaplah kalian pada sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang telah mendapat petunjuk. Berpeganglah teguh kepadanya, dan gigitlah dengan gigi gerahammu.”
Hadits hadits tersebut menyuruh umat islam islam agar berpegang teguh kepada Al-quran dan As-sunnah. Hal ini dapat dipahami dari redaksi hadits tersebut sendiri.[14]
Sunnah adalah sumber hukum Islam yang kedua. Oleh karena itu, kewajiban mengikuti, kembali, dan berpegang teguh pada sunnah merupakan perintah Allah SWT dan juga perintah Nabi SAW, pembawa syariat yang agung. Perintah itu tertuang dalam FirmanNya sebagai berikut:
a.    “Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul (Nya) dan berhati-hatilah” (QS. Al-Maidah: 92)
b.    “Barangsiapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah” (QS. An-Nisa’: 80)
c.    “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangbagimu maka tinggalkanlah” (QS. Al-Hasyr :7)
Kemudian sabda Nabi saw:
“Aku tinggalkan kepadamu sesuatu. Selama kamu sekalian berpegang teguh padanya, niscaya kamu sekalian tidak akan tersesat sepeninggalanku, yaitu Al-Qur’an dan Sunnahku”(HR. Hakim)[15]
Berdasarkan dalil-dalil di atas, maka orang-orang yang mengingkari sunnah sebagai hujjah, dengan dalil cukup mengamalkan Al-Qur’an, sungguh mereka itu terlalu kecil dan rendah. Mereka benar-benar telah terjerumus ke dalam kebathilan dan kesalahan. Seruan mereka agar taat kepada Allah dan mengikuti Al-Qur’an, tanpa mengikuti sunnah, itu merupakan perbuatan maksiat dan bid’ah.
Al-Qur’an secara tegas menyebutkan, bahwa orang-orang yang tidak mau mendasarkan hukum-hukumnya dan mengembalikan segala persoalannya kepada Rasulullah saw, serta tidak mau tunduk dan patuh secara total terhadap hukum-hukum dan perintah-perintahnya dengan penuh kesadaran, adalah termasuk orang-orang yang tidak beriman. Firman Allah SWT:
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’ : 65)
Tidak ada konotasi makna lain dari mengambil hukum dan kembali kepada Nabi saw, selain hanya kembali dan tunduk kepada sunnahnya. Al-Qur’an menunjukkan kepada kita, bahwa tidak ada pilihan lain bagi orang mukmin untuk memilih hukum yang lain selain hukum-hukum Allah dan hukum-hukum RasulNya. Orang yang melanggar hukum Allah dan hukum RasulNya disebut Durhaka. Allah SWT berfirman:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan sesuatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzaab: 36)
Nabi saw memberitahukan kepada kita berdasarkan petunjuk Allah, bahwa akan datang orang-orang yang ingkar terhadap sunnah, dan kini realitanya memang ada. Dengan munculnya sekelompok orang yang menamakan dirinya Islam, namun anti Sunnah, adalah sebagai pemberitaan Allah SWT mengenai mukjizat NabiNya. Islam sebenarnya sama sekali lepas dari kelompok-kelompok umat seperti itu.[16]


C.  FUNGSI SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM...
Ditinjau dari segi fungsinya, sunnah mempunyai hubungan yang sangat kuat dan erat sekali dengan AL-Qur’an. Sunnah An-Nabawiyah mempunyai fungsi sebagai penafsir Al-Qur’an yang membuka rahasia-rahasia Al-Qur’an dan menjelaskan kehendak-kehendak Allah swt dalam perintah dan hukum-hukumNya. Dan jika ditinjau dari segi dilalahnya (indeksial)nya terhadap hukum-hukum yang dikandung Al-Qur’an, baik secara global maupun rinci, status sunnah dapat diklasifikasikan menjadi empat macam, yaitu:
1.    Sebagai pengukuh (ta’kid) terhadap ayat-ayat Al-Qur’an
Sunnah diartikan sebagai pengukuh ayat-ayat Al-Qur’an apabila makna yang terkandung di dalamnya cocok dengan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Nabi saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah swt memanjangkan kesempatan kepada orang-orang zalim, apabila Allah menghukumnya maka Allah tidak akan melepaskannya”
Hadis tersebut cocok dengan firman Allah swt:
“Dan begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri yang berbuat zalim,” (QS. Huud: 102)
Hadis yang befungsi sebagai pengukuh (penta’kid) ayat-ayat Al-Qur’an jumlahnya banyak sekali, seperti hadis-hadis yang menunjukkan atas wajibnya shalat, zakat, haji, amal, berbuat baik, memberi maaf, dan sebagainya.
2.    Sebagai penjelasan terhadap maksud ayat-ayat Al-Qur’an
Hadis dalam fungsi ini terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu:
     a.    Menjelaskan ayat-ayat mujmal
Hadis dalam fungsi ini di antaranya ialah hadis yang menjelaskan segala sesuatu yang berhubungan dengan ibadah dan hukum-hukumnya, dari segi praktiknya, syarat, waktu dan tatacaranya, seperti masalah shalat dimana di dalam Al-Qur’an tidak disebutkan secara rinci tentang bilangan rakaat, waktu, rukun, syarat, dan sebagainya. Tetapi semua itu dijelaskan oleh sunnah.
    b.    Membatasi lafadz yang masih muthlaq dari ayat-ayat Al-Qur’an
Hadis yang membatasi kemutlakan lafadz dari ayat-ayat Al-Qur’an ialah seperti hadis-hadis yang menjelaskan tentang lafadz Al-Yad (tangan) yang terdapat dalam ayat Al-Qur’an:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah kedua tangannya” (QS.Al-Maidah;38)
Bahwa yang dimaksud memotong tangan dalam ayat tersebut adalah tangan kanan dan pemotongannya adalah sampai pergelangan tangan, tidak sampai siku.
    c.    Mengkhususkan ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum.
Hadis dalam kategori ini ialah seperti hadis yang mengkhususkan makna zalim dalam firman Allah swt:
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukkan iman mereka dengan kezaliman” (QS. Al-An’am:82)
Bahwa yang dimaksud zalim pada ayat tersebut adalah menyekutukan Tuhan. Peristiwanya ialah sewaktu ayat tersebut turun, sebagian sahabat mengira bahwa yang dimaksud zalim pada ayat tersebut ialah zalim dalam arti umum, sehingga dia berucap. ”Siapakah dia antara kita yang tidak zalim?” kemudian Nabi saw menjawab, “Bukan itu yang dimaksud tetapi yang dimaksud zalim pada ayat itu ialah menyukutukan Allah (Syirik)”
     d.    Menjelaskan makna lafadz yang masih kabur
Diantaranya ialah seperti hadis yang menjelaskan makna dua lafadz “Al-Khaithu”, dalam firman Allah swt:
“Dan makan minumlah kamu hingga jelas bagimu benag putih dan benang hitam. Yaitu fajar.” (QS. AL-Baqarah: 187)
Peristiwanya ialah sebagian sahabat ada yang mengira bahwa yang dimaksud dengan benang dalam ayat itu ialah tali yang berwarna putih dan hitam. Kemudian, Nabi saw bersabda, bahwa yang dimaksud ialah terangnya siang dan gelapnya malam.
3.    Menetapkan hukum yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an
Contoh sunnah semacam ini banyak sekali, seperti hadis-hadis yang menetapkan hukum haram mengawini (Poligami) seorang perempuan berserta bibinya, riba fadhal, dan daging himar piaraan.
4.    Menghapus ketentuan hukum dalam Al-Qur’an
Sebagian ulama ada yang memboleh kan sunnah menghapus ketentuan hukum dalam Al-Qur’an diantaranya ini seperti hadis:
“Tidak boleh berwasiat (memberikan harta peninggalan) kepada ahli waris”
Hadis tersebut menghapus ketenttua hukum dlam Al-Qur’an tentang diperbolehkannya wasiat kepada ahli waris, baik kepada kedua orang tua, atau kerabat-kerabat waris lainnya, sebagaimana firman Allah swt:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan ( tanda-tanda) maut jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapa dan karib kerabatnya secara ma’ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa” (QS.Al-Baqarah: 180)[17]


D.  PEMBAGIAN SUNNAH...
Adapun dalil-dalil yang menetapkan bahwa as-sunnah menjadi hujjah bagi kaum muslimin sebagai sumber hukum ialah:
Pertama, Al-Qur’an. Di dalam Al-qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang memerintahkan kaum muslimin agar mentaati Rasulullah saw. Dengan ungkapan yang berbeda-beda.
Misalnya firman Allah :
“Katakanlah : “Taatilah Allah dan RasulNya, jika kamu berpaling, sungguh Allah menyukai orang kafir”.”(QS. Ali Imran; 32)
Di tempat lain Allah mencela orang mu’min dan mu’minah yang mengadakan pilihan menurut pendapatnya sendiri, padahal Allah dan RasulNya telah menetapkan ketentuannya.
Ayat-ayat tersebut, biarpun dengan ungkapan yang berbeda-beda, tetapi mahfumnya sama, adalah sebagai bukti bahwa apa yang disyari’atkan oleh Rasulullah saw, juga syari’at Ilahi yang wajib ditaati oleh seluruh kaum muslimin.
Kedua, As-Sunnah. Tidak sedikit jumlah hadist-hadist Rasulullah saw, yang memerintahkan agar kaum muslimin selalu berpegang kepada sunnah Rasulullah. Antara lain hadist Abu Najih al-Irbadh bin Sariyah ra. Yang menceritakan:
“ Rasulullah saw. Memberikan nasihat kepada kita dengan suatu nasihat yang menggetarkan hati dan mencucurkan air mata. Kami bertanya: “Hai Rasulullah, nampaknya nasihat itu nasihat (pamitan) terakhir, karena itu beri nasihatlah kami!” Sebab beliau : “Aku nasihatkan kepadamu agar kamu taqwa kepada Allah, taat dan patuh, biarpun seorang hamba sahaya memerintahkan kamu. Sungguh orang hidup lama (berumur panjang) di antara kamu nanti bakal mengetahui adanya pertentangan-pertentangan yang hebat.” Oleh karena itu hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku, sunnah khulafa’ur rasyidin yang pada mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah dengan taringmu! Jauhilah mengada-adakan perkara, sebab perkara yang diada-adakan itu adalah bid’ah. Padahal setiap bid’ah itu adalah tersesat dan setiap yang tersesat itu di neraka” (HR. Ahmad dan Lainnya)
Jelaslah kiranya hadist tersebut memerintahkan kepada kaum muslimin agar berpegang kepada sunnah Rasulullah saw. Dan sunnah para khulafa’ur Rasyidin yang mendapat petunjuk dari sunnah Nabi.
Ketiga, Ijma’us Sahabat. Para sahabat pada waktu Rasulullah saw, masih hidup selalu mengikuti segala sesuatu yang diperintahkan oleh beliau dan menjauhi segala sesuatu yang dilarangnya dengan tidak membedakan antara kewajiban kewajiban taat kepada hukum-hukum yang diwahyukan Allah di dalamAl-Qur’an dan hukum-hukum yang ditetapkan oleh beliau sendiri.
Keempat, Logika. Al-Qur’an membebani beberapa kewajiban kepada manusia pada umumnya adalah secara global, yakni tidak diperinci dengan sejelas-jelasnya, baik mengenai cara-cara  melaksanakannya maupun syarat-syarat yang diperlukan untuk melaksanakannya. Misalnya dalam memerintahkan menjalankan shalat, melakukan puasa, menunaikan zakat, dan menunaikan ibadah haji. Al-Qur’an tidak menerangkan bagaimana cara-cara melaksanakan dan syarat-rukun apa yang diperlukannya dan dalam mewajibkan membayar zakat. Al-Qur’an punt idak menjelaskan macam-macam harta yang wajib dizakatkan dan berapa besarnya zakat untuk tiap-tiap kesatuan harta yang wajib dizakatkan. Akan tetapi Rasulullah saw, kemudian menjelaskan kemujmalan (masih global) itu dengan sunnah qauliyahnya atau sunnah Fi’liyahnya. Karena beliau telah dianugerahi kekuasaan oleh Allah swt untuk menjelaskan Al-Qur’an.[18]
Sunnah ditinjau dari segi sedikit atau banyaknya orang-orang yang pada meriwayatkan dari Rasulullah saw, dibagi kepada 3 bagian:
1.    Sunnah Mutawatirah
Ialah segala sesuatu dari Rasulullah saw, yang diriwayatkan oleh sekian banyak sahabat yang menurut adat kebiasaan mustahillah mereka bersepakat untuk berdusta, kemudian dari sahabat-sahabat itu diriwayatkan pula oleh para tabi’i dan orang berikutnya dalam jumlah yang seimbang dengan jumlah para sahabat yang meriwayatkan pada mula pertama. Sunnah mutawatirah itu banyak kita dapatkan pada sunnah amaliah (yang langsung dikerjakan oleh Rasulullah). Misalnya cara mengerjakan shalat, melakukan puasa menunaikan ibadah haji dan lain-lain. Perbuatan-perbuatan Rasulullah tersebut disaksikan sendiri secara langsung oleh para sahabat dengan tidak ada perubahan sedikit pun pada waktu disampaikan kepada tabi’in dan orang-orang pada generasi selanjutnya.
Adapun sunnah mutawatirah qauliyah (berupa sabda-sabda Rasulullah) sedikit sekali yang mencapai derajat mutawatirah. Lebih lanjut para ulama membagi sunnah mutawatirah ini kepada mutawatirah lafzhiyah dan mutawatirah ma’nawiyah.
Suatu sunnah mutawatirah dikatakan lafzhiyah bila redaksi dan kandungan sunnah yang disampaikan oleh sekianbanyak perawi tersebut adalah sama benar. Misalnya:
“Maka barangsiapa membuat kebohongan terhadap saya dengan sengaja, hendaklah ia menempati tempat duduknya di api neraka” (HR. Bukhari-Muslim)
Sunnah tersebut diriwayatkan oleh lebih kurang 200 orang sahabat dengan redaksi dan isi yang tidak berbeda.
Adapun yang dikatakan Sunnah Mutawatirah ma’nawiyah ialah SunnahMutawatirah yang berbeda susunan redaksinya satu sama lain, tetapi masing-masing susunan redaksi yang berbeda-beda itu mempunyai hal-hal yang sama (kadar musytarak). Misalnya: tentang mengangkat tangan waktu mendo’a. Hadist yang semacam itu diriwayatkan oleh kurang lebih 100 orang sahabatdengan ungkapan kalimat yang berbeda-beda dan dicantumkan dalam masalah yang berbeda-beda pula. Akan tetapi dalam riwayat yang berbeda-beda itu ada sesuatu yang sama (musytarak), yaitu sunnatnya mengangkat tangan pada waktu mendo’a.
Pemberitaan secara mutawatir ini memberikan keyakinan yang sebesar-besarnya bahwa apa yang dikerjakan atau disabdakan oleh Rasulullah itu pasti terjadi. Oleh karena itu wajib diamalkan.
2.    Sunnah Masyhurah
Ialah segala sesuatu dari Rasulullah saw, yang diriwayatkan oleh seorang sahabat atau dua orang atau lebih yang tidak sampai mencapai derajat mutawatirah. Kemudian dari sahabat tersebut diriwayatkan oleh sekian banyak tabi’i ini diriwayatkan oleh sekian banyak rawi yang mutawatir pula.
Perbedaan antara sunnah mutawatirah dengan sunnah masyhurah ialah bahwa pada sunnah mutawatirah para perawinya sejak dari generasi sahabat, tabi’i sampai kepada tabi’in-tabi’in dan seterusnya mencapai kriteria mutawatir. Sedang pada sunnah masyhurah para perawinya pada generasi sahabat tidak mencapai kriteria mutawatir, tetapi baru pada generasi tabi’i dan setereusnya mencapai kriteria mutawatir. Sunnah masyhurah itu wajib diamalkan sebagaimana sunnah mutawatirah. Hanya saja tingkatannya adalah lebih rendah daripada sunnah Mutawatirah dan lebih tinggi dari sunnah ahad....
3.    Sunnah Ahad
Ialah sesuatu dari Rasulullah saw, yang diriwayatkan oleh seorang sahabat, dua orang atau lebih yang tidak sampai derajat mutawatir, kemudian dari sahabat tersebut diriwayatkan oleh seorang tabi’i, dua orang  atau lebih dan seterusnya diriwayatkan oleh perawi-perawi dalam keadaan yang sama (tidak mutawatir). Sunnah Ahad ini adalah yang paling banyak kita dapati dalam kitab-kitab sunnah. Kemudian sunah ahad ini dibagi menjadi 3 bagian, yakni:
1. Shahih,
2. Hasan, dan
3. Dha’if.[19]
BAB III
PENUTUP

A.       Kesimpulan
Seluruh kaum muslimin telah bulat pendapatnya bahwa sabda, perbuatan, dan taqrir Rasulullah saw, yang dimaksudkan sebagai undang-undang dan pedoman hidup ummat yang harus di ikuti dan yang sampai kepada kita denga sanad (sandaran) yang shahih, hingga memberikan keyakinan yang pasti atau dugaan yang kuat bahwa hal itu datangnya dari Rasulullah, adalah sebagai hujjah bagi kaum muslimindan sebagai sumber syari’at tempat para mujtahid mengeluarkan hukum-hukum syara’.
B.       Saran...
Alhamdulillah, Akhirnya dengan do’a dan usaha, penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Penulis berharap supaya makalah ini dapat berguna dan dapat dimanfaatkan oleh kalangan banyak. Dan penulis berharap kritik dan saran dari dosen pembimbing dan teman-teman sekalian. Terima kasih.



DAFTAR PUSTAKA...


Prof. Dr. Mukhtar Yahya, Prof. Drs. Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam (Bandung: Alma’arif, 1986)
Prof. Dr. Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006)
Drs. H. Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2005)


[1] http://kumpulan-makalah-islami.blogspot.com/2008/12/kedudukan-sunnah-dalam-islam.html
[2]Drs. H. Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), hal. 15-16
[3]Ibid, hal. 16
3Prof. Dr. Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. 3

[5]Prof. Dr. Mukhtar Yahya, Prof. Drs. Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam (Bandung: Alma’arif, 1986), hal. 38-39
[7]http://idnanakbar.blog.com/
[8]Ibid.
[10]Ibid
[11]Ibid
[12]http://idnanakbar.blog.com/
[13]Ibid
[14]Ibid
[15]Prof. Dr. Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. 5-6
[16]Ibid,hal 6-8
[17]Ibid, hal. 9-13
[18]Prof. Dr. Mukhtar Yahya, Prof. Drs. Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam (Bandung: Alma’arif, 1986), hal. 40-43

2 comments: