Sunday, January 7, 2018

Al-Hulul, Ittihad, Fana (ilmu tasawuf)



BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
           Ilmu tasawuf yang merupakan salah satu cabang ilmu yang sangat kontroversi dikalangan para ahli sufi, dikarenakan di dalamnya mengandung berbagai permasalahan yang menyangkut dengan aqidah dan keimanan seseorang. Dalam sejarah perkembangannya, para ahli membagi tasawuf menjadi dua, yaitu tasawuf yang mengarah pada teori-teori perilaku dan tasawuf yang mengarah pada teori-teori yang rumit dan memerlukan pemahaman mendalam.
           Pada perkembangannya, tasawuf  yang berorientasi ke arah pertama sering disebut sebagai tasawuf akhlaqi. Ada yang menyebutnya sebagai tasawuf yang banyak dikembangkan oleh kaum salaf. Adapun tasawuf yang berorientasi ke arah kedua disebut sebagai tasawuf falsafi. Tasawuf ini banyak dikembangkan para sufi yang berlatar belakang sebagai filosof di samping sebagai sufi.
           Perkembangan Tasawuf dan Islam telah mengalami beberapa fase. Pertama, yaitu fase asketis (zuhud) yang tumbuh pada akad pertama dan kedua Hijriyah sikap asketis ini dipandang sebagai pengantar tumbuhnya tasawuf. Tasawuf mempunyai perkembangan tersendiri dalam sejarahnya. Tasawuf berasal dari gerakan zuhud yang selanjutnya berkembang menjadi tasawuf. Meskipun tidak persis dan pasti, corak tasawuf dapat dilihat dengan batasan- batasan waktu dalam rentang sejarah.
           Corak-corak ilmu tasawuf yang berkembang menurut rentang waktu yang sangat panjang, dengan berbagai motif dan konsep-konsep yang berbagai macam tetapi dengan satu tujuan jua, yakni tentang keimanan dan tujuan hidup seseorang.Tasawuf sebagai ajaran pembersihan hati dan jiwa memiliki sejarah perkembangannya dari masa ke masa.

B. Lumusan Masalah
1.               Apa yang dimaksud dengan hulul?
2.               Apa yang dimaksud dengan ittihad?
3.               Apa yang dimaksud dengan fana?

C. Tujuan
1.               Untuk mengetahui tentang hulul.
2.               Untuk mengetahui tentang ittihad.
3.               Untuk mengetahui tentang fana.


BAB II
PEMBAHASAN


A. PERKEMBANGAN AJARAN TASAWUF

           Benih-benih tasawwuf sudah ada sejak dalam kehidupan Nabi SAW. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah, dan pribadi Nabi SAW. Peristiwa dan perilaku hidup Nabi SAW. Sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari-hari ia berkhalwat di gua Hira’, terutama pada bulan Ramadhan. Di sana Nabi SAW banyak berfikir dan bertafakur dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.
           Kemudian puncak kedekatan Nabi SAW dengan Allah SWT tercapai ketika melakukan Isra’-Miraj. Didalam Isra’-Miraj Nabi SAW telah sampai ke sidratul muntaha (tempat terakhir yang dicapai Nabi SAW ketika miraj di langit yang ke tujuh), bahkan telah sampai kehadirat Ilahi dan sempat berdialok dengan Allah SWT. Karena itu Muhammad Husain Haekal (Mesir, 20 Agustus 1888-8 Desember 1956), seorang sastrawan dan politikus Mesir yang banyak menulis biografi, menulis dalam bukunya Hayat Muhammad (Sejarah Hidup Muhammad), bahwa hidup sederhana yang dilakukan oleh Nabi SAW bukanlah suatu kewajiban agama, tetapi dengan cara itulah ia memberikan teladan tentang ketangguhan mental yang tidak lemah.
           Ibadah Nabi SAW. Ibadah Nabi SAW juga merupakan cikal bakal tasawwuf. Dalam diri Nabi SAW terkumpul sifat-sifat utama, yaitu rendah hati, lemah lembut, jujur, tidak suka mencari-cari cacat orang lain, sabar, tidak angkuh, santun dan tidak mabuk ujian. Nabi SAW adalah tipe ideal bagi seluruh kaum muslimin, termasuk pula bagi para sufi, hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah Al-Ahzab Ayat 21 yang artinya:
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi mu (yaitu) bagi orang yang mengharap (Rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyak menyebut nama Allah.”[1]

B.    Al-Hulul
1.     Pengertian dan Tujuan Hulul
          
           Al-Hulul secara bahasa berarti menempati. Dalam istilah tasawuf hulul adalah ajaran yang menyatakan bahwa Tuhan memilih tubuh manusia-manusia tertentu untuk mengambil tempat didalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaannya dihilangkan. Doktrin Hulul adalah salah satu tipe dalam aliran tasawuf falsafi dan merupakan perkembangan lanjut dari paham ittihad. Paham Al-Hulul ini pertama ditampilkan atau Tokoh yang mengembangkan paham al-Hulul adalah al-Hallaj. Nama lengkapnya adalah Husein bin Mansur al-Hallaj. Ia lahir pada tahun 244 H. (858 M.) Di negeri Baidha salah satu kota kecil yang terletak di PersiaHusain Ibnu Mansur Al-Hallaj. Ajaran al-hallaj adalah imbauan kepada perbaikan moral dan kepada pengalaman persatuan dengan Yang Dicintai, yaitu Tuhan. Ungkapan yang sangat terkenal “Ana Al-Haqq” (Aku adalah kebenaran Absolut) atau yang kemudian sering diterjemahkan menjadi “ Aku adalah Tuhan”.al hulul mempunyai dua bentuk, yaitu :
1.               Al- Hulu Al-jawari, yakni keadaan dua esensi yang satu mengambil tempat pada yang lain (tanpa persatuan), seperti air mengambil tempat dalam bejana.
2.               Al-Hulul As-Sarayani yakni persatuan dua esensi (yang satu mengalir didalam yang lain) sehingga yang terlihat hanya satu esensi, seperti zat air yang mengalir di dalam bunga.

C.     Ittihad
1.       Pengertian Ittihad

           Apabila seorang sufi telah berada dalam keadaan fana, maka pada saat itu ia telah dapat menyatu dengan Tuhan, sehingga rujud diyahnya kekal atau baqa. Di dalam perpaduan itu ia menemukan hakikat jati dirinya sebagai manusia yang berasal dari tuhan, itulah yang dimaksud dengan ittihad.
           Ittihad menurut bahasa berarti penyatuan atau berpadunya dua hal, artinya perpaduan dengan tanpa di antarai sesuatu apapun.  Ittihad di pandang sebagai ajaran dokrtinal karena memadukan eksestensi dua wujud yang terpisah ( Wahdah Al-Wujud). Hal ini bertentangan dengan konsep kesatuan wujud jika dipahami sebagai kesatuan. Dalam tasawuf Ittihad adalah kondisi dimana seorang sufi merasa dirinya menyatu dengan Tuhansehingga masing-masing di antara keduanya bisa memanggil kata-kata aku.
           Menurut Abu Yazid, ia tidak pernah mengaku sebagai Tuhan. Proses ittihad adalah naiknya jiwa manusia kehadirat illahi, bukan melalui reinkarnasi. Sirnanya segala sesuatu dari kesadaran dan pandangannya, yang disadari dan  dilihat hanya hakikat yang satu, yakni Allah. Bahkan dia tidak melihat dan tidak menyadari sendiri karena dirinya terlebur dalam dia yang dilihat.
           Ittihad dipandang sebagai penyelewengan (inhiraf), tetapi bagi orang yang keras berpengang pada agama, itu dipandang sebangai kekufuran, faham ittihad ini  selanjutnya dpat mengambil bentuk hulul dan wahdat al-wujud. Paham ijtihad ini juga dapat dipahami dari keadaan ketika Nabi Musa ingin melihat Allah. Musa berkata: “Ya Tuhan, bagaimana supaya aku sampai kepada-Mu?” Tuhan berfirman: Tinggallah dirimu (lenyapkanlah dirimu) baru kamu kemari (bersatu). Ayat dan riwayat tersebut memberi petunjuk bahwa Allah SWT. Telah member  peluang kepada manusia untuk bersatu dengan tuhan secara rohaniah dan atau batiniah, yang caranya antara lain dengan beramal saleh, dan beribadat semata-mata karena Allah, menghilangkan sifat-sifat dan akhlak yang buruk, menghilangkan kesadaran sebagai manusia, meninggal dosa dan maksiat, dan kemudian menghias diri dengan sifat-sifat Allah, yang kesemua ini tercakup dalam konsep fana dan baqa.

D.     Fana
·           Arti fana
Di dalam kitab ar risalah al-qusyairiah di katakana:
ذهاب البشرية
a.                Arti fana ialah lenyapnya indrawi/ kebasyrian.
Maka siapa yang meliputi Hakikat Ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat daripada Alam baharu, alam rupa dan alam wujud ini maka dikatakanlah ia telah lama fana dari alam cipta / dari makhluk dan baqanya Allah tanpa hulul.
b.               Fana, berarti hilangnya sifat-sifat buruk (maksiat lahir danmaksiat  batin) dan baqanya/ kekalnya sifat-sifat terpuji  (taat lahir dan taat bathin). Bahwa “fana” itu, ialah lenyapnya segalanya, lenyap sifat fana/ fana fissifat. Yang tinggal, ialah baqanya Allah. Dan memang semestinya begitulah, sesuai kata Ahli-Ahli tassawuf: “ Apabila nampaklah Nur kebaqaan, maka fanalah yang tiada dan baqalah yang kekal.” Dan dalam pada ini , Ahli-ahli tassawuf juga berkata:
“Tassawuf itu, ialah mereka fana dari dirinya dan baqa dengan Tuhannya karena kehadiran hati mereka bersama Allah.”[2]
Dari segi bahasa alnafa’ berarti didalamnya berwujud sesuatu. Fana berbeda dengan al fasad (rusak). Fana artinya tidak nampaknya sesuatu, sedangkan rusak adalah berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain. Bukan atas dasar perubahan bentuk yang satu kepada bentuk yang lainnya, dan hilangnya benda dalam alam itu dengan cara fana, bukan cara rusak.[3]       Selanjudnya fana yang dicari oleh orang sufi adalah penghancuran diri ( al-fana’ alnafs), yaitu hancurnya perasaan atau kesadaran tentang adanya kesadaran tubuh kasar manusia. Menurut qusairi, fana yang dimaksud adalah: fananya seorang dari dirinya dan makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang makhluk lain itu.. sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula makhluk lain ada, tapi ia tidak sadar lagi pada mererka dan pada dirinya.

·                  Tanggapan Tentang Fana

           Sahabat nabi yang paling sring memperkatakan tentang “fana” / lenyap, ialah sayyidana Ali Bin Abi Thalib ra. Beliau berkata :
Dan di dalam leburku / fanaku leburlah kefanaanku, tetapi di dalam kefanaanku itulah bahkan aku mendapat engkau Tuhan.”
Demikianlah Fana di tanggapi oleh para kaum sufi secara baik, bahkan fana itulah merupakan pintu masuk untuk menemukan Allah( لقاء الله ) bagi orang yang benar-benar mempunyai keinginan dan keimanan yang kuat untuk bertemu Allah.

·                  Tingkatan-tingkat fana dan Hikmahnya.
Tingkat I.(fana fi af-alillah).
قوله: لا فاعل الاالله.
Tiada fi-il/ perbuatan melainkan Allah.
           Dalam tingkatan pertama ini, Seseorang telah mulai dalam situasi dimana akal fikiran mulai tidak berjalan lagi, melainkan terjadi sebagai “ ilham” tiba-tiba nur ilahi terbit dalam hati sanubari dan telah lenyap menjadi gerak dan diamnmya Allah.

Tingkatan II. ( fana fis sifat).
قوله : لا حي الا الله
" Tiada yang hidup sendirinya melainkan Allah.”
           Dalam tingkatan ini, sseorang mulai dalam situasi putusnya diri dari alam indrawi dan mulai lenyapnya segala sifat kebendaan artinya dalam situasi menafikan diri dan mengisbatkan sifat Allah.

Tingkatan III.( fana fil-asma).
قوله : لا محمود الاالله
           “ Tiada yang patut dipuji melainkan Allah.
           Dalam tingkatan ini seseorang telah dalam situasi fananya segala sifat-sifat keinsanannya, lenyap dari alam wujud yang gelap ini masuk kedalam alam ghaib/ yang penuh dengan bercahaya.

Tingkatan IV.( fana fizzat).
قوله : لا موجود على الاطلاق الاالله.
"  Tiada wujud secara mutlak melainkan Allah.”
           Dalam tingkatan ini seseorang telah beroleh perasaan batin pada suatu keadaan yang tak berisi tiada lagi kanan kiri, tiada lagi muka dan belakang, tiada lagi atas dan bawah pada ruang yang tak tidak bertepi.

·                  Tokoh yang Mengembangkan Fana

           Dalam sejarah tasawwuf  Abu Yazid Al-Bustami ( w. 874 M/) disebut-sebut sebagai sufi yang pertama kali memperkenalkan faham fana dan bakat ini. Nama kecilnya adalah Thaifur.

Hikmah “fana”.

1.               Pentauhidan Tuhan semurninya dalam arti,tiada wujud yang mutlak melainkan Allah
2.               Pengenalan Tuhan semurninya, tidak sekedar pengakuan adanya dan satunya saja dengan ucapan kalimat syahadat, tidak sekedar dalil atau pendapat dengan  jalan akal


BAB III
PENUTUP

A.             Kesimpulan

           Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa, ittihad adalah secara bahasa dimana seorang sufi merasa dirinya menyatu dengan Tuhan sehingga masing-masing di antara keduanya bisa mengambil kata-kata aku. Sedangkan Hulul adalah ajaran yang menyatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiannya dilenyapkan. Secara harfiah hulul bearti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu,yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaanya melalui fana. Paham bahwa Allah dapat mengambil tempat pada diri manusia ini, bertolak dari dasar pemikiran Al-Hallaj yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat dasar, yaitu lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Berdasarkan uraian yang telah disebutkan, maka al-Hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana manusia dan tuhan bersatu secara rohaniah. Fana adalah Fana hilang, hancur, sehingga dapat dipahami bahwa fana merupakan proses menghancurkan diri sebagai seorang sufi agar dapat bersatu dengan Tuhan.yaitu dengan hilangnya kesadaran seseorang terhadap keberadaan dirinya dan alam sekelilingnya. Hal ini dapat terjadi karena latihan yang berat dan perjuangan yang cukup panjang dalam pendakian rohani.

B.              Saran 
           Demikianlah makalah yang dapat kami buat, kami menyadari dalam penulisan makalah ini banyak sekali kesalahan dan kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang konstruktif demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Besar harapan kami semoga makalah ini bisa memberikan sedikit manfaat bagi pembaca pada umumnya dan pemakalah khususnya. Amin….


DAFTAR PUSTAKA

           Amir An-najar. Ilmu Jiwa Dalam Tasawuf. Jakarta: Pustaka Azzam.2000.

           K.Permadi. Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta:PT RINEKA CIPTA. 2004

           Mustafa.Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: PT. BINA ILMU: 1998.









[1] Van-Hoeve, Ensiklopedia Islam, penerbit PT Ichtiar Baru, Jakarta, hal. 77-78.
[2] Dr. Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya:PT BINA ILMU, 1998, H 232.
[3] Jamil Shaliba, Mu’jam Al-Falsafy, jilid II, (bairud: dar alkitab, 1979), hlm 167.

No comments:

Post a Comment