BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu tasawuf yang
merupakan salah satu cabang ilmu yang sangat kontroversi dikalangan para ahli
sufi, dikarenakan di dalamnya mengandung berbagai permasalahan yang menyangkut
dengan aqidah dan keimanan seseorang. Dalam sejarah perkembangannya, para ahli membagi
tasawuf menjadi dua, yaitu tasawuf yang mengarah pada teori-teori perilaku dan
tasawuf yang mengarah pada teori-teori yang rumit dan memerlukan pemahaman
mendalam.
Pada perkembangannya,
tasawuf yang berorientasi ke arah
pertama sering disebut sebagai tasawuf akhlaqi. Ada yang
menyebutnya sebagai tasawuf yang banyak dikembangkan oleh kaum salaf.
Adapun tasawuf yang berorientasi ke arah kedua disebut sebagai tasawuf falsafi. Tasawuf ini banyak
dikembangkan para sufi yang berlatar belakang sebagai filosof di samping
sebagai sufi.
Perkembangan Tasawuf
dan Islam telah mengalami beberapa fase. Pertama, yaitu fase asketis (zuhud)
yang tumbuh pada akad pertama dan kedua Hijriyah sikap asketis ini dipandang
sebagai pengantar tumbuhnya tasawuf. Tasawuf mempunyai perkembangan
tersendiri dalam sejarahnya. Tasawuf berasal dari gerakan zuhud yang
selanjutnya berkembang menjadi tasawuf. Meskipun tidak persis dan pasti, corak
tasawuf dapat dilihat dengan batasan- batasan waktu dalam rentang sejarah.
Corak-corak ilmu
tasawuf yang berkembang menurut rentang waktu yang sangat panjang, dengan
berbagai motif dan konsep-konsep yang berbagai macam tetapi dengan satu tujuan
jua, yakni tentang keimanan dan tujuan hidup seseorang.Tasawuf sebagai ajaran
pembersihan hati dan jiwa memiliki sejarah perkembangannya dari masa ke masa.
B. Lumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan hulul?
2.
Apa yang dimaksud dengan ittihad?
3.
Apa yang dimaksud dengan fana?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui tentang hulul.
2.
Untuk mengetahui tentang ittihad.
3.
Untuk mengetahui tentang fana.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PERKEMBANGAN AJARAN TASAWUF
Benih-benih
tasawwuf sudah ada sejak dalam kehidupan Nabi SAW. Hal ini dapat dilihat dalam
perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah, dan pribadi Nabi SAW. Peristiwa
dan perilaku hidup Nabi SAW. Sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari-hari ia
berkhalwat di gua Hira’, terutama pada bulan Ramadhan. Di sana Nabi SAW banyak
berfikir dan bertafakur dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Kemudian
puncak kedekatan Nabi SAW dengan Allah SWT tercapai ketika melakukan
Isra’-Miraj. Didalam Isra’-Miraj Nabi SAW telah sampai ke sidratul muntaha
(tempat terakhir yang dicapai Nabi SAW ketika miraj di langit yang ke tujuh),
bahkan telah sampai kehadirat Ilahi dan sempat berdialok dengan Allah SWT. Karena
itu Muhammad Husain Haekal (Mesir, 20 Agustus 1888-8 Desember 1956), seorang
sastrawan dan politikus Mesir yang banyak menulis biografi, menulis dalam
bukunya Hayat Muhammad (Sejarah Hidup Muhammad), bahwa hidup sederhana yang
dilakukan oleh Nabi SAW bukanlah suatu kewajiban agama, tetapi dengan cara
itulah ia memberikan teladan tentang ketangguhan mental yang tidak lemah.
Ibadah
Nabi SAW. Ibadah Nabi SAW juga merupakan cikal bakal tasawwuf. Dalam diri Nabi
SAW terkumpul sifat-sifat utama, yaitu rendah hati, lemah lembut, jujur, tidak
suka mencari-cari cacat orang lain, sabar, tidak angkuh, santun dan tidak mabuk
ujian. Nabi SAW adalah tipe ideal bagi seluruh kaum muslimin, termasuk pula
bagi para sufi, hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah Al-Ahzab
Ayat 21 yang artinya:
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi mu (yaitu)
bagi orang yang mengharap (Rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia
banyak menyak menyebut nama Allah.”[1]
B.
Al-Hulul
1.
Pengertian dan Tujuan
Hulul
Al-Hulul
secara bahasa berarti menempati. Dalam istilah tasawuf hulul adalah ajaran yang
menyatakan bahwa Tuhan memilih tubuh manusia-manusia tertentu untuk mengambil
tempat didalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaannya dihilangkan. Doktrin Hulul
adalah salah satu tipe dalam aliran tasawuf falsafi dan merupakan perkembangan
lanjut dari paham ittihad. Paham Al-Hulul ini pertama ditampilkan atau Tokoh yang
mengembangkan paham al-Hulul adalah al-Hallaj. Nama lengkapnya adalah
Husein bin Mansur al-Hallaj. Ia lahir pada tahun 244 H. (858 M.) Di negeri
Baidha salah satu kota kecil yang terletak di Persia “Husain Ibnu Mansur Al-Hallaj”. Ajaran al-hallaj adalah imbauan kepada
perbaikan moral dan kepada pengalaman persatuan dengan Yang Dicintai, yaitu
Tuhan. Ungkapan yang sangat terkenal “Ana Al-Haqq” (Aku adalah kebenaran
Absolut) atau yang kemudian sering diterjemahkan menjadi “ Aku adalah Tuhan”.al hulul mempunyai dua bentuk, yaitu :
1.
Al- Hulu
Al-jawari, yakni keadaan dua esensi yang satu
mengambil tempat pada yang lain (tanpa persatuan), seperti air mengambil tempat
dalam bejana.
2.
Al-Hulul As-Sarayani yakni
persatuan dua esensi (yang satu mengalir didalam yang lain) sehingga yang
terlihat hanya satu esensi, seperti zat air
yang mengalir di dalam bunga.
C.
Ittihad
1.
Pengertian Ittihad
Apabila seorang
sufi telah berada dalam keadaan fana, maka pada saat itu ia telah dapat menyatu
dengan Tuhan, sehingga rujud diyahnya kekal atau baqa. Di dalam perpaduan itu
ia menemukan hakikat jati dirinya sebagai manusia yang berasal dari tuhan,
itulah yang dimaksud dengan ittihad.
Ittihad menurut bahasa
berarti penyatuan atau berpadunya dua hal, artinya perpaduan dengan tanpa di
antarai sesuatu apapun. Ittihad di
pandang sebagai ajaran dokrtinal karena memadukan eksestensi dua wujud yang
terpisah ( Wahdah Al-Wujud). Hal ini bertentangan dengan konsep kesatuan wujud
jika dipahami sebagai kesatuan. Dalam tasawuf Ittihad adalah kondisi dimana
seorang sufi merasa dirinya menyatu dengan Tuhansehingga masing-masing di
antara keduanya bisa memanggil kata-kata aku.
Menurut Abu Yazid, ia tidak
pernah mengaku sebagai Tuhan. Proses ittihad adalah naiknya jiwa manusia
kehadirat illahi, bukan melalui reinkarnasi. Sirnanya segala sesuatu dari
kesadaran dan pandangannya, yang disadari dan
dilihat hanya hakikat yang satu, yakni Allah. Bahkan dia tidak melihat
dan tidak menyadari sendiri karena dirinya terlebur dalam dia yang dilihat.
Ittihad
dipandang sebagai penyelewengan (inhiraf), tetapi bagi orang yang keras
berpengang pada agama, itu dipandang sebangai kekufuran, faham ittihad ini selanjutnya dpat mengambil bentuk hulul dan
wahdat al-wujud. Paham ijtihad ini juga dapat dipahami dari keadaan
ketika Nabi Musa ingin melihat Allah. Musa berkata: “Ya Tuhan, bagaimana
supaya aku sampai kepada-Mu?” Tuhan berfirman: Tinggallah dirimu
(lenyapkanlah dirimu) baru kamu kemari (bersatu). Ayat dan riwayat
tersebut memberi petunjuk bahwa Allah SWT. Telah member peluang kepada manusia untuk bersatu dengan
tuhan secara rohaniah dan atau batiniah, yang caranya antara lain dengan
beramal saleh, dan beribadat semata-mata karena Allah, menghilangkan
sifat-sifat dan akhlak yang buruk, menghilangkan kesadaran sebagai manusia,
meninggal dosa dan maksiat, dan kemudian menghias diri dengan sifat-sifat
Allah, yang kesemua ini tercakup dalam konsep fana dan baqa.
D.
Fana
·
Arti fana
Di dalam kitab ar
risalah al-qusyairiah di katakana:
ذهاب البشرية
a.
Arti fana ialah
lenyapnya indrawi/ kebasyrian.
Maka siapa yang meliputi Hakikat Ketuhanan, sehingga
tiada lagi melihat daripada Alam baharu, alam rupa dan alam wujud ini maka
dikatakanlah ia telah lama fana dari alam cipta / dari makhluk dan baqanya
Allah tanpa hulul.
b.
Fana, berarti hilangnya sifat-sifat buruk (maksiat lahir danmaksiat batin) dan baqanya/ kekalnya sifat-sifat
terpuji (taat lahir dan taat bathin).
Bahwa “fana” itu, ialah lenyapnya segalanya, lenyap sifat fana/ fana fissifat.
Yang tinggal, ialah baqanya Allah. Dan memang semestinya begitulah, sesuai kata
Ahli-Ahli tassawuf: “ Apabila nampaklah Nur kebaqaan, maka fanalah yang tiada
dan baqalah yang kekal.” Dan dalam pada ini , Ahli-ahli tassawuf juga
berkata:
“Tassawuf itu, ialah
mereka fana dari dirinya dan baqa dengan Tuhannya karena kehadiran hati mereka
bersama Allah.”[2]
Dari segi bahasa
alnafa’ berarti didalamnya berwujud sesuatu. Fana berbeda dengan al fasad
(rusak). Fana artinya tidak nampaknya sesuatu, sedangkan rusak adalah
berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain. Bukan atas dasar perubahan bentuk
yang satu kepada bentuk yang lainnya, dan hilangnya benda dalam alam itu dengan
cara fana, bukan cara rusak.[3] Selanjudnya fana yang
dicari oleh orang sufi adalah penghancuran diri ( al-fana’ alnafs), yaitu
hancurnya perasaan atau kesadaran tentang adanya kesadaran tubuh kasar manusia.
Menurut qusairi, fana yang dimaksud adalah: fananya seorang dari dirinya dan
makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang
makhluk lain itu.. sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula makhluk lain
ada, tapi ia tidak sadar lagi pada mererka dan pada dirinya.
·
Tanggapan Tentang Fana
Sahabat nabi yang paling sring memperkatakan tentang
“fana” / lenyap, ialah sayyidana Ali Bin Abi Thalib ra. Beliau berkata :
“ Dan di dalam
leburku / fanaku leburlah kefanaanku, tetapi di dalam kefanaanku itulah bahkan
aku mendapat engkau Tuhan.”
Demikianlah Fana di tanggapi oleh para kaum sufi secara baik, bahkan
fana itulah merupakan pintu masuk untuk menemukan Allah( لقاء الله ) bagi orang yang
benar-benar mempunyai keinginan dan keimanan yang kuat untuk bertemu Allah.
·
Tingkatan-tingkat fana
dan Hikmahnya.
Tingkat I.(fana fi
af-alillah).
قوله: لا فاعل الاالله.
Tiada fi-il/ perbuatan
melainkan Allah.
Dalam tingkatan pertama ini, Seseorang telah mulai dalam
situasi dimana akal fikiran mulai tidak berjalan lagi, melainkan terjadi sebagai
“ ilham” tiba-tiba nur ilahi terbit dalam hati sanubari dan telah lenyap
menjadi gerak dan diamnmya Allah.
Tingkatan II. ( fana
fis sifat).
قوله : لا حي الا الله
"
Tiada yang hidup sendirinya melainkan Allah.”
Dalam tingkatan ini, sseorang mulai dalam situasi putusnya
diri dari alam indrawi dan mulai lenyapnya segala sifat kebendaan artinya dalam
situasi menafikan diri dan mengisbatkan sifat Allah.
Tingkatan III.( fana
fil-asma).
قوله : لا محمود الاالله
“
Tiada yang patut dipuji melainkan Allah.
Dalam tingkatan ini seseorang telah dalam situasi
fananya segala sifat-sifat keinsanannya, lenyap dari alam wujud yang gelap ini
masuk kedalam alam ghaib/ yang penuh dengan bercahaya.
Tingkatan IV.( fana fizzat).
قوله : لا موجود على الاطلاق الاالله.
" Tiada wujud secara mutlak melainkan Allah.”
Dalam
tingkatan ini seseorang telah beroleh perasaan batin pada suatu keadaan yang
tak berisi tiada lagi kanan kiri, tiada lagi muka dan belakang, tiada lagi atas
dan bawah pada ruang yang tak tidak bertepi.
·
Tokoh yang
Mengembangkan Fana
Dalam
sejarah tasawwuf Abu Yazid Al-Bustami (
w. 874 M/) disebut-sebut sebagai sufi yang pertama kali memperkenalkan faham
fana dan bakat ini. Nama kecilnya adalah Thaifur.
Hikmah “fana”.
1.
Pentauhidan Tuhan
semurninya dalam arti,tiada wujud yang mutlak melainkan Allah
2.
Pengenalan Tuhan
semurninya, tidak sekedar pengakuan adanya dan satunya saja dengan ucapan
kalimat syahadat, tidak sekedar dalil atau pendapat dengan jalan akal
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa,
ittihad adalah secara bahasa dimana seorang sufi merasa dirinya menyatu dengan
Tuhan sehingga masing-masing di antara keduanya bisa mengambil kata-kata aku.
Sedangkan Hulul adalah ajaran yang menyatakan bahwa Tuhan memilih
tubuh-tubuh manusia untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat
kemanusiannya dilenyapkan. Secara harfiah hulul bearti Tuhan mengambil
tempat dalam tubuh manusia tertentu,yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan
sifat-sifat kemanusiaanya melalui fana. Paham
bahwa Allah dapat mengambil tempat pada diri manusia ini, bertolak dari dasar
pemikiran Al-Hallaj yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat
dasar, yaitu lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Berdasarkan uraian yang telah disebutkan, maka
al-Hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana manusia dan tuhan
bersatu secara rohaniah. Fana adalah Fana hilang,
hancur, sehingga dapat dipahami bahwa fana merupakan proses menghancurkan diri
sebagai seorang sufi agar dapat bersatu dengan Tuhan.yaitu
dengan hilangnya kesadaran seseorang terhadap keberadaan dirinya dan alam
sekelilingnya. Hal ini dapat terjadi karena latihan yang berat dan perjuangan
yang cukup panjang dalam pendakian rohani.
Demikianlah
makalah yang dapat kami buat, kami menyadari dalam penulisan makalah ini banyak
sekali kesalahan dan kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang konstruktif
demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Besar harapan kami semoga makalah
ini bisa memberikan sedikit manfaat bagi pembaca pada umumnya dan pemakalah
khususnya. Amin….
DAFTAR PUSTAKA
Amir
An-najar. Ilmu Jiwa Dalam Tasawuf. Jakarta: Pustaka Azzam.2000.
K.Permadi. Pengantar Ilmu Tasawuf.
Jakarta:PT RINEKA CIPTA. 2004
Mustafa.Zahri,
Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: PT. BINA ILMU: 1998.
No comments:
Post a Comment